Shalat adalah rukun Islam yang ke dua, pengertian shalat sudah dimaklumi bersama sebagaimana yang sudah banyak tertera dalam kitab-kitab fiqh yaitu seluruh rangkaian ucapan dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Hukum mengerjakan shalat adalah wajib terhadap para mukallaf. Dalam menjalani roda kehidupan sehari-hari setiap manusia tentunya akan terhambat dengan berbagai macam hambatan (uzur) dalam melaksanakan ibadah shalat seperti sakit dan musafir.
Dalam agama Islam seseorang yang tidak bisa melakukan wuduk sebagai media untuk menyucikan diri dari hadas kecil maka sesuai dengan legalitas dari syara’ yang telah di atur dalam kitab fiqh boleh menggunakan fasilitas tayamum sebagai jembatan agar bisa melakukan ibadah sebagaimana biasanya. Kebolehan menggunakan media tayamum sebagai langkah untuk sahnya ibadah merupakan rukhsah yang diberikan oleh agama kepada para mukalaf. al-‘Allamah Al-Fadhil Abdullah ibn Sulaiman al-Jarhazi telah mendefinisikan Rukhsah dalam kitab Al-Mawa>hi>b al-Saniyyah Syarh Al-Fara>id al-Bahiyyah, beliau menyebutkan:
(ورخص الشرع) جمع رخصة وهي لغة السهولة، واصطلاحا
تغير الحكم من صعوبة الى سهولة لعذر مع قيام السبب للحكم الأصلي.
Artinya: Rukhsah secara etimologi
artinya adalah kemudahan, menurut terminologi arti dari Rukhsah adalah alternasi hukum yang pada dasarnya sulit berevolusi menjadi mudah dengan sebab adanya uzur
beserta dilandasi sebab hukum dasar.
Salah satu dari sekalian faktor-faktor
yang menghadirkan rukhsah sehingga dibolehkan menggunakan tayamum adalah uzur. Uzur
menjadi salah satu sebab rukhsah, dalam artian dengan adanya uzur kadang
kala dapat meringankan dan memudahkan kewajiban yang telah ada dalam melaksanakan
segala perintah syariat.
Secara umum para ulama membagi uzur menjadi
dua. Pertama Uzur ‘Am (uzur umum), artinya uzur yang banyak terjadi
seperti safir (melakukan perjalanan) dan sakit. Kedua Uzur Nadir,
artinya uzur yang jarang terjadi. Uzur Nadir (jarang terjadi) terbagi
kepada dua macam. Pertama, uzur tatkala terjadi maka akan berkesinambungan/berkelanjutan,
artinya uzur yang apabila terjadi maka tidak akan langsung hilang seperti istihadhah
dan Salsul al-Rih atau Salsul al-Baul. Kedua, uzur yang tidak berkesinambungan/berkelanjutan, artinya uzur tatkala terjadi maka akan segera
hilang seperti sangat dingin.
Maka dari segala pembagian uzur tersebut
apabila seseorang mengalami kendala Uzur Nadir berkelanjutan dalam menjalankan
ibadah maka tidak perlu mengulangi ibadah tersebut, berbeda halnya bila seseorang
terkendala dalam melaksanakan ibadah karena Uzur Nadir tidak
berkelanjutan/berkesinambungan maka wajib untuk mengulangi ibadahnya.
Sumber:
1. Al-Syekh, Abdullah bin Hija>zi bin Ibra>hi>m al-Sya>fi’i al-Azhari, Ha>syiah al-Syarqa>wi> ‘ala> Tuhfah al-Thulla>b bi Syarh Tahri>r Tanqi>h al-Luba>b, Jld. I, (Surabaya: Haramain, tt), h. 99.
2. Al-Jama>l, Al-‘Aji>li> al-Azhari,> Sulaima>n bin Mansu>r, Ha>syiah al-Jama>l ‘ala> Syarh Manhaj al-Thulla>b, Jld. I, Cet. I, (Beirut: Da>r al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1996), h. 363.
0 Komentar