Ternak hewan merupakan salah
satu mata pencarian bagi sebagian orang. Dengan beternak hewan, mereka
mendapatkan berbagai macam rezeki yang dapat menjamin keberlangsungan hidup
yang mereka jalani. Tidak sedikit orang yang mengambil profesi ini, ada sebahagian
mereka yang menernak hewan seperti ayam, unggas dan bahkan memperoleh
keuntungan dari telur binatang ternak tersebut. Nah, menarik di sini untuk dikaji
bagaimana hukum mengonsumsi telur jika nyatanya induknya sudah terlebih dahulu
mati?
Dalam menyikapi
masalah tersebut ulama memberi pandangan yang berbeda. Di dalam kitab Hayat
al-Hayawan al-Kubra karya dari seorang ulama Mesir bermazhab Syafi’i, Imam
Kamaluddin Muhammad bin Musa bin Isa bin Ali ad-Damiry dijelaskan:
فرع: البيضه التي في جوف الطائر الميت فيها ثلاثة أوجه حكاها الماوردي
والروياني والشاشي أصحها، وهو قول ابن القطان وأبي الفياض، وبه قطع الجمهور إن
تصلبت فطاهرة وإلا فنجسة. والثاني طاهرة مطلقاً، وبه قال أبو حنيفة لتميزها عنه
فصارت بالولد أشبه
والثالث نجسة مطلقاً، وبه قال مالك
لأنها قبل الإنفصال جزء من الطائر وحكاه المتولي عن نص الشافعي رضي الله تعالى
عنه. وهو نقل غريب شاذ ضعيف.
Telur yang didapati
dari perut induk yang sudah mati hukumnya dirincikan dalam 3 pendapat:
Pendapat
pertama, pendapat yang dihikayatkan oleh Imam Mawardi dan Imam Rauyani diterangkan bahwa pendapat itu
berasal dari ibnu Qathan dan Abi Fiyadz
di mana pendapat ini sudah dianggap kuat oleh jumhur ulama, bahwa jika
telur itu telah mengeras maka dihukumi suci, namun jika telur itu kulitnya
tidak mengeras tapi masih berbentuk lendir maka dihukumi najis.
Sedangkan pendapat
yang kedua menghukumi suci secara mutlak baik kulitnya telah mengeras ataupun
tidak.
Pendapat yang
ketiga hukumnya najis secara mutlak, Imam Malik menambahkan karena telur
tersebut bagian dari induk yang sudah mati makanya dihukumi najis. Namun, Imam Mutawalli
menghikayat dari nas Imam Syafii bahwa pendapat tersebut merupakan naqal yang
sangat jauh bahkan pendapat tersebut dianggap sebagai syaz yang dhaif.
Sedangkan di
dalam kitab Fathul Muin karya dari Imam Zainuddin al-Malibari, beliau lebih
cenderung kepada pendapat pertama tentang hal tersebut, beliau melihat dari
sisi telur itu, jika ia mengeras maka suci jika tidak maka hukumnya najis.
Sumber: I’anatut
Thalibin, Sayyid Bakri ad-Dimyathi, jld. 1, h. 105.
0 Komentar