Keluar dari Khilaf Yang Disunatkan: Aturan dan Ketentuannya


Perbedaan pendangan dalam memahami ajaran Islam adalah sebuah keniscayaan dan ia merupakan sunnatullah yang telah dimulai di kalangan para sahabat semenjak Rasulullah SAW masih hidup. Dalam tradisi cendikiawan Islam, fiqh ikhtilaf atau fiqh perbedaan pendapat dalam hal furu’ bukanlah sesuatu yang baru, apalagi dianggap tabu. Tidak terkira jumlah karya ilmiah yang ditulis para cendikiawan Islam dan disusun khusus untuk merangkum, membandingkan, mengkaji, kemudian merundingkan berbagai pendapat yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.

Memang perbedaan pendapat merupakan sebuah kepastian yang tidak bisa dipungkiri dalam ranah keilmuan, namun para Ulama memberi jalan tengah diantara banyaknya perbedaan agar terhindar dari ancaman syara' sehingga Ulama merumuskan satu kaidah yang berbunyi:

مراعة الخلاف مستحب

Artinya: keluar dari pendapat yang diperselisihkan ulama adalah sunah

Kesunahan keluar dari khilaf pendapat para Ulama bukan karena terdapat postulat atau dalil yang khusus seperti hadis Nabi dan ayat Al-quran yang menerangkan kesunahannya, akan tetapi hal ini disebabkan karena kehati-hatian dalam beragama.  Kehatia-hatian dalam beragama sangat dianjurkan dan dituntutkan oleh syariat. Maka kesunahan keluar dari pendapat yang diperselisihkan agama adalah sifat wara' yang diperintahkan oleh syariat.

A.      Metode keluar dari khilaf

Keluar dari khilaf dengan dua cara, pertama dengan menjauhkan perkara yang diperselisihkan oleh para ulama tentang keharamannya. Cara kedua dengan melakukan perkara yang diperselihkan para ulama tentang kewajibannya.

B.      Syarat keluar dari khilaf

Terdapat 3 syarat agar dibenarkan keluar dari khilaf

1.    Tidak jatuh dalam khilaf yang lain, hingga fasal pada sembahyang witir lebih utama dari wasal dan tidak dipertimbangkan pendapat abi hanifah karena sebagian ulama tidak membolehkan wasal.

2. Tidak bertentangan dengan hadis yang ada hingga disunnahkan mengangkat dua tangan dalam shalat dan tidak dipertimbangkan pendapat ulama hanafiah yang menyatakan batal shalatnya karena mengangkat kedua tangan telah sebut dari Rasulullah SAW dalam sebuah hadis

3.  Dalil mukhalif merupakan dalil yang kuat dan tidak keliru, hingga puasa bagi musafir lebih baik dari berbuka bagi orang yang mampu berpuasa dan tidak dipertimbangkan pendapat Daud Dahiri yang menyatakan tidak sah puasanya.

Reff: Fawaed Makiyah, hl. 268, cet: Dar Diya'.

اعلم أن العلماء متفقون على أن الخروج من الكردي: ولذلك ثلاثة شروط كما ، الخلاف مستحب ، كما في «الروضة» ، ، قال العلامة (1) قاله بيته في كتابي كاشف اللثام عن حكم التجرد قبل الميقات بلا إحرام، ومما ذكرته فيه عبارة العلامة السيوطي في كتابه الأشباه والنظائر الفقهية

لمراعاة الخلاف شروط :

أحدها: أن لا توقع في خلاف آخر، ومن ثم كان فصل الوتر أفضل من وصله ولم يراع خلاف أبي حنيفة؛ لأن من العلماء لا من يجيز الوصل .

الثاني: أن لا يخالف سنة ثابتة ومن ثمة من رفع اليدين في الصلاة ولم يبال برأي من قال بإبطال الصلاة من الحنفية؛ لأنه ثابت عن النبي صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم من رواية خمسين صحابياً.

الثالث: أن يقوى مدركه بحيث لا يعد هفوة، ومن ثم كان الصوم في السفر أفضل لمن قوي عليه ولم يبال بقول داود: وقد قال امام الحرمين في هذه المسألة: إن المحققين لا يقيمون لخلاف أهل الظاهر وزنا ا.

Reff: Al wajiz fi Qawaid fiqh, hl. 184, Cet: Muassisah Risalah.

إن استحباب الخروج ليست لثبوت سنة خاصة فيه بل لعموم الاحتياط والاستبراء للدين، وهو مطلوب شرعي مطلقاً، فكان القول بأن الخروج أفضل ثابت من العموم واعتماده من الوزع المطلوب شرعاً

ويتحقق الخروج المستحب باجتناب ما وقع الخلاف في تحريمه وبفعل ما اختلف في وجوبه، فقد قال الإمام الزركشي في قواعده تحت عنوان الخلاف يستحب الخروج منه باجتناب ما اختلف في تحريمه، وفعل ما

Posting Komentar

0 Komentar