Urf yang sering kita jumpai saat mengkaji fiqh maupun
usul fiqh didefinisikan oleh para Ulama dengan: suatu hal yang telah
menjadi adat bagi khalayak ramai baik berupa amaliah yang masyhur ataupun
lafaz/ungkapan yang maklum penggunaanya terhadap makna yang khusus, bukan
maklum yang besifat lugah.
Urf menurut fuqaha’ merupakan salah satu rujukan
hukum di berbagai kasus dalam ranah fiqh, khusunya problematika sumpah,
nazar, dan talak. dengan catatan ia sesuai dengan pemahaman nash.
Para Ulama membagi
urf dalam beberapa pembahagian
tergantung arah tinjauan tersendiri. Dari segi kategori, urf terbagi kepada dua:
amaly (bersifat perbuatan) dan qauly (bersifat ucapan/ dalam
bentuk lafaz). Setiap keduanya pun terbagi dalam dua jenis: urf am’ dan urf
khas. Dan untuk pemberlakuan urf sebagai rujukan hukum bergantung
kemana ia tergolong, urf fasid ataupun urf sahih.
Makna dari urf amaly adalah perbuatan tertentu
yang maklum di antara manusia. Seperti mengkonsumsi kambing pada satu daerah,
dan lain sebagainya.
Sedangkan makna dari urf qauly adalah pemakaian
satu lafaz terhadap makna tertentu yang masyhur dalam kalangan manusia,
sekiranya pikiran hanya memahami lafaz tersebut pada makna terkhusus. Seperti
penggunaan lafaz lahmy(daging) hanya kepada binatang, tidak terpahami
kepada ikan dan belalang.
Dan setiap dari dua pembagian tersebut terbagi lagi
kepada dua jenis: urf khas dan urf ‘am.
Urf khas adalah suatu adat yang ada bagi satu farad(individu), kelompok tertentu atau daerah tertentu. Seperti tatacara makan atau penggunaan terhadap sesuatu. Sedangkan maksud urf ‘am adalah sesuatu hal yang sama dilakukan oleh setiap orang dalam satu daerah atau kebanyakan besar dari daerah tersebut. Contohnya adalah bai’ istisha’ (jual beli dengan adanya uang muka), sekalipun urf ini tidak dibenarkan oleh mayoritas ulama lintas mazhab karena tergolong dalam urf fasid.
Namun dalam memberlakukan urf sebagai dalil pada ulama
mengklasifikasi urf kepada dua jenis: urf sahih dan urf fasid.
Urf sahih adalah urf yang berlaku di antara
manusia, namun juga tidak menyalahi dalil syariat; tidak menghalalkam yang
haram dan membatalkan hal wajib.
Sedangkan urf fasid adalah urf yang berlaku di antara manusia, namun menyalahi dalil-dalil syariat.
Dalam menjadikan urf sebagai dalil, urf
sahih wajib hukumnya untuk ditinjau karena urf sahih tidak bertentangan dalil
syariat. Dalam pada itu, urf fasid tidak boleh hukumnya untuk dijadikan sebagai
rujukan hukum, karena dalam menggunakan urf fasid sebagai rujukan adanya
kontradiktif dengan dalil syariat. Seperti pada masalah bai ishtita’
yang telah disinggung di atas.
Maka menjadi keharusan bahwa ungkapan para ulama "العادة شريعة
محكمة"( adat merupakan syariat yang dapat menajdi hukum) dan “العرف في الشرع له
اعتبار”( urf memiliki pertimbangan dalam syariat) perlu dikaitkan
dengan catatan “selama tidak menyalahi dalil-dalil syariat.” Tidak mutlak
diberlakukan secara umum.
Rujukan:
Ilmu
Usul fiqh, Abdul Wahab Khallaf, 89-91
al-Wajiz fi Usul al-Fiqh al-Islamy, Doktor
Muhammad Mustafa Zuhayli, 266-267
0 Komentar