Perbedaan Antara Qaidah Fiqhiyyah Dan Dhabit Fiqhiy



Perbedaan Antara Qaidah Fiqhiyyah Dan Dhabit Fiqhiy.

Bagi pelajar fiqh tentu pernah menemukan istilah qaidah dan dhabit, sekilas kedua istilah ini sama yaitu qadhiyyah kulliyyah yang  mencakup permasalahan juz’iyyat di dalamnya. Namun nyatanya kedua istilah ini memiliki perbedaan yang signifikan? Mari kita mengamati perbedaan tersebut secara tuntas.


Disebutkan di dalam kitab “Qawaid Fiqhiyyah” karya Syekh Ali ahmad an-Nadwiy bahwa qaidah fiqhiyyah dan dhabit fiqhiy memiliki beberapa perbedaan, di antaranya :

1. Qaidah fiqh mencakup banyak bab fiqh, sedangkan dhabit fiqh hanya terkait satu bab fiqh saja.

Dari sini dapat kita pahami bahwa qaidah fiqh lebih luas cakupannya dibandingkan dhabit fiqh. Misalnya qaidah الامور بمقاصدها” artinya segala perkara tergantung tujuannya. Qaidah ini bisa berlaku kepada bab tharah, shalat, jual beli, nikah dan sebagainya. Berbeda hal nya dengan dhabit fiqh, misalnya dhabit tentang “كل ماء المطلق لم يتغير فهو طهور ” hanya terkait bab thaharah saja.

2. Dari segi  penghadapan terhadap furu’ dalam satu bab, qaidah fiqh lebih banyak dihadapkan kepada furu’ dibanding dengan dhabit fiqh, karena lebih banyak dihadapkan kepada furu’, maka tidak heran jika terdapat banyak syaz dalam qaidah fiqh dibandingkan dengan dhabit fiqh.

3. Qaidah fiqh lebih banyak pengecualiannya (mustasnayat) dibanding dhabit fiqh.

Hal ini terjadi karena banyaknya permasalahan yang mencakup dalam qaedah itu sendiri, yang menyebabkan sering adanya pengecualian, sedangkan dhabit fiqh minim pengecualian karena hanya satu permasalahan saja.

4. Kaidah Fikih lebih banyak yang disepakati dibandingkan dhabith fikih. Kaidah Fikih biasanya disepakati oleh seluruh atau sebagian besar madzhab fikih, seperti kaidah “segala perkara tergantung tujuannya”. Tidak ada ulama yang menyelisihi Kaidah Fikih ini. Sebaliknya, perbedaan para ulama dalam hal Dhabith Fikih adalah hal biasa.


Berikut beberapa Contoh dhabith fikih:

1.       أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ. “Setiap kulit yang disamak berarti telah suci”.

 

2.       الْمَاءُ طَهُوْرٌ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ لَوْنُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ رِيْحُهُ... “Air itu suci menyucikan selama warna, rasa, dan baunya tidak berubah…dst”

 

3.       الْأَصْلُ أَنَّ صَلَاةَ الْمُقْتَدِيْ مُتَعَلِّقَةٌ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ “Asal (sah tidaknya) shalat makmum itu berkaitan dengan salatnya imam”.


     Berikut beberapa contoh kaidah fikih

1.       أَلاُمُوْرُ بٍمَقَاصِدِهَا “Segala sesuatu tergantung pada tujuannya”. Seperti diwajibkannya niat dalam berwudu, mandi, shalat dan puasa. Dan seperti penggunaan kata kiasan (kinayah) dalam talak. Seperti ucapan seorang suami kepada istrinya  اَنْتِ خَلِيَةengkau adalah wanita yang terasing. Jika suami bertujuan menceraikan dengan ucapannya tersebut, maka jatuhlah talak kepada istrinya, namun jika ia tidak berniat menceraikan maka tidak jatuh talaknya.

2.       اليقين لا يزال بالشك “Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan”. Seperti seorang ragu, apakah baru tiga atau sudah empat rakaat shalatnya? maka dihukumi shalatnya baru tiga rakaat karena itulah yang diyakini.

3.       ما يشترط فيه التعين فالخطأ فيه مبطل

“Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan penjelasan

menyebabkan batal”. Seperti seseorang yang melakukan shalat dhuhur dengan niat ‘ashar atau sebaliknya, maka shalatnya tersebut tidak sah.

 

 

Rujukan:

Qawaid Fiqhiyyah”, Ali Ahmad an-Nadwiy, hal. 46 -51

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

1 Komentar