Fase Pembukuan Mazhab Syafi'i (204-270 H)

Fase Pembukuan Mazhab Syafi'i (204-270 H)


Setelah mengembangkan mazhab lewat kerja keras sendiri, imam Syafi’i akhirnya wafat pada tahun 204 H. Kontribusi beliau untuk membumikan mazhab fiqh baru dilanjutkan oleh murid-muridnya yang beliau tinggalkan di berbagai Negeri. Kegigihan dan keikhlasan murid-murid imam Syafi’i dalam menjaga dan meluncurkan mazhab pada periode ini bisa dikatakan sebagai pembukuan mazhab (tadwin). Tentu lewat berbagai cara agar mazhab Syafi’i tidak ditelan masa dengan sebab wafat sahibul mazhab sebagaimana yang telah terjadi pada imam Lais bin Sa’ad. 


Lais bin Sa’ad lebih alim dan lebih faqih daripada imam Malik. Sikap murid-murid imam Lais yang menyia-nyiakan beliau membuat mazhabnya hilang ditelan zaman. ”Tidak ada murid imam Lais yang produktif, tidak ada murid beliau yang bersemangat untuk meriwayatkan pendapat-pendapat beliau dan  metode penggalian hukum imam Lais tidak  disebarkan oleh murid-muridnya bahkan tidak dibukukan” inilah sejumlah faktor utama yang membuat pendapat-pendapat imam Lais tidak dikenal oleh umat setelahnya. Berbeda dengan murid imam Lais, murid imam Syafi’i mengambil perannya masing-masing demi tersebar dan terbukukannya mazhab sang guru. Sejumlah murid imam Syafi'i yang meriwayatkan pendapat qadim terus memberi sumbangsih dalam meluncurkan pendapat versi lama hingga wafatnya Hasan az-Za’farani pada 260 H, sebagai murid terakhir yang meriwayat pendapat qadim. 


Murid-murid imam Syafi’i yang meluncurkan pendapat jadid terus berjuang untuk mazhab fiqh Syafi'i. Mulai sejak wafat imam Syafi’i,  al-Buwaithi sebagai murid yang paling jenius dan yang paling tua menggantikan posisi imam Syafi’i untuk mengajar di majelisnya. Bisa dikatakan bahwa al-Buwaithi menerima wasiat untuk mengurus majlis imam. Menjelang wafat imam Syafi’i al-Humaidi sebagai murid yang dituakan mendekat ke ranjang imam Syafi’i, dia memohon agar imam menunjukkan pewaris majelisnya. “Tidak ada yang lebih berhak atas majelisku selain al-Buwaithi” ujar imam Syafi’i. 


Kontribusi al-Buawaithi lewat mengajar berlangsung 20 tahun lebih. Fitnah khalqul qur’an terhadap al-Buwaithi saat itu menjadi akhir sumbangsih beliau untuk mengembangkan mazhab lewat majlis imam Syafi’i. Beliau ditangkap oleh pihak yang tidak bertanggung jawab lalu dipenjara dan pada tahun 231 H al-Buwaithi wafat dalam penjara. Majlis imam setelah wafat al-Buwaithi diteruskan oleh murid imam lainya yaitu al-Muzani (wafat 264 H). Selain berperan lewat mengajar, ditangan al-Muzani juga lahir karya pertama dari kalangan Syafi'yyah yaitu “Mukhtasar saghir” atau yang dikenal dengan “Mukhtasar Muzani” yang kemudian menjadi rujukan utama ulama syafi’iyyah lainnya dalam metode penulisan karya ilmiah mereka. 


Rabi’ al-Muradi (wafat 270 H) adalah murid imam Syafi’i yang hidup sangat lama setelah sahibul mazhab wafat.  Tidak bisa ditangkal bahwa Rabi’ al-Muradi merupakan sosok narator ulung dalam meluncurkan karya imam “al-um” dan “ar-Risalah”. Meski al-Buwaithi merupakan murid terbaik yang ditinggalkan imam Syafi’i tapi kontribusi Rabi’ al-Muradi  lebih besar dari apa yang telah dilakukan al-Buwaithi. Selisih usia antara keduanya tentu menjadi faktor utama dalam memberikan sumbangsih untuk mazhab. al-Buwaithi hanya hidup sekitar 28 Tahun sejak wafat imam Syafi’i, ditambah lagi beliau pernah dipenjara beberapa tahun sebelum beliau wafat. Sedangkan sisa usia Rabi’ al-Muradi mencapai 66 Tahun. 


Bisa disimpulkan bahwa kerja keras dan keikhlasan yang diberikan oleh murid-murid imam Syafi’i mulai tahun 204 H-270 H adalah untuk membukukan mazhab lewat cara mereka masing-masing. Perlu dicatat bahwa pada fase ini belum ada seorang pun dari fuqahak Syafi’iyyah yang menjabat sebagai hakim terutama di negara  timur Islam. Posisi yang paling berpengaruh untuk kemajuan sebuah mazhab itu masih dipegang oleh fukaha Hanafiyyah sejak Abu Yasuf menjadi Hakim (wafat 188 H).

Sumber: al-Mu'tamad 'inda Syafi'iyyah


Posting Komentar

0 Komentar