Dewasa ini, sering kita lihat di media mainstream orang-orang yang secara spontan bersujud di kala mendapatkan suatu nikmat. Hal ini acapkali dilakukan sebagai bentuk rasa syukur mereka kepada Allah atas nikmat yang dianugerahkan olehNya. Namun, bagaimana sebenarnya ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan sujud syukur, khususnya dalam mazhab syafii?
Imam Bujairimi berkata dalam kitabnya:
وشرطها كصلاة فيعتبر لصحتها ما يعتبر في سجود الصلاة كالطهارة والستر والاستقبال وترك نحو كلام ووضع الجبهة مكشوفة بتحامل على غير ما يتحركك بحركته ووضع جزء من باطن الكفين والقدمين ومن الركبتين وغير ذلك
Syarat sujud syukur sama saja dengan sembahyang. Sujud syukur dianggap sah seperti sahnya sujud di dalam sembahyang seperti bersuci, menutup aurat, menghadap qiblat, tidak bicara, meletakkan dahi terbuka dengan sedikit tekanan di atas tempat yang tidak ikut bergerak ketika fisiknya bergerak, meletakkan telapak tangan, telapak kaki, lutut, dan syarat sujud lainnya.
Tatacaranya sendiri adalah sesorang yang hendak melakukan
sujud berdiri, lalu melakukan takbiratul ihram seraya berniat untuk sujud
syukur, kemudian takbir untuk turun sujud, sujud, bangun dari sujud dan
diakhiri dengan salam.
Saat sujud kita bisa membaca lafal berikut ini:
سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الخَالِقِيْنَ.
Artinya: Diriku bersujud kepada Zat yang menciptakan dan
membentuknya, membuka pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan
kekuatan-Nya. Maha suci Allah, sebaik-baik pencipta.
Lalu, bagaimana status orang yang sujud syukur tanpa
takbiratul ihram dan salam seperti yang sering kita lihat? Imam Nawawi menyebut
pendapat yang menyatakan demikian adalah pendapat syaz dan munkar, yakni tidak
layak untuk diamalkan.
Untuk sebabnya sendiri, sujud ini dilakukan ketika seseorang
mendapat nikmat secara tiba-tiba, terhindar dari musibah atau melihat orang
yang diberi cobaan seperti melihat orang cacat atau bermaksiat. Namun,
hendaknya seseorang tidak melakukan sujud di depan orang yang diberi cobaan
bukan karena kesengajaannya, berbeda dengan melihat si pelaku maksiat.
Kemudian para ulama memberikan solusi alternatif dikala
syarat-syaratnya tidak memadai atau tidak mungkin melakukan sujud syukur. Syekh
Said bin M Ba’asyin dalam Busyra Al-Karim mengatakan:
ولو لم يتمكن من التحية أو سجود التلاوة
أو الشكر قال أربع مرات "سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ لِلهِ، وَلَا إِلَهَ
إِلَا اللهُ، وَاللهَ أَكْبَرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلّا بِاللهِ
العَلِيِّ العَظِيْمِ" فإنها تقوم مقامها
Artinya:
Kalau tidak bisa mengerjakan sembahyang tahiyyatul masjid, sujud tilawah, atau
sujud syukur, pihak yang bersangkutan cukup membaca sebanyak 4 kali
“Subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, Allahu akbar, la haula wa la
quwwata illa billahil ‘aliyyil azhim”. Karena kedudukan fadhilah bacaan 4 kali
itu setara dengan 3 amal di atas (sembahyang tahiyyatul masjid, sujud tilawah,
atau sujud syukur).
Referensi:
1. Imam Nawawi, Raudhah At-Thalibin, jld 1, H. 321-324
2. Imam Bujairimi, Hasyiah Al-Bujairimi, jld 1, H. 453
3. Syekh Said bin M Ba’asyin, Busyra
Al-karim jld 1, H. 310
0 Komentar