Hadis sebagai sumber hukum memberikan
petunjuk praktis dan pengetahuan tentang bagaimana menjalani kehidupan
sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam. Validasi dan keabsahannya sebagai
panduan hukum dalam kehidupan umat muslim ditegaskan dalam salah satu firman
Allah Swt:
وَمَآ
اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ
وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
Artinya, "Apa yang Rasulullah berikan
kepadamu sekalian, terimalah, dan apa yang ia larang, tinggalkanlah." (QS
Al-Hasyr: 7).
Namun, pemahaman dalam memaknai sebuah
hadis bukanlah hal mudah, tidak jarang kita menemukan kesulitan dalam memahami
makna dari suatu hadits tersebut. Sehingga butuh banyak disiplin ilmu agar
pemahaman tentang suatu hadis tidak berujung keliru, misalnya saja seperti
hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra di bawah ini
لَا يَقْبَلُ
اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
Artinya:
Allah tidak menerima shalat orang yang haid kecuali dengan menutup aurat.
Secara rasional, adalah kemustahilan jika hadis
tersebut dimaknai secara tekstual, tidak mungkin Allah menerima shalat seorang wanita
yang haid meskipun dia sudah menutup auratnya sekalipun karena memang sudah
jelas secara tegas Islam telah melarang perempuan yang sedang haid untuk
mengerjakan shalat sebagaimana diterangkan dalam Matan Taqrib Syekh Abu Syuja’
berikut.
ويحرم بالحيض
والنفاس ثمانية أشياء: الصلاة والصوم وقراءة القرآن ومس المصحف وحمله ودخول المسجد
والطواف والوطء والاستمتاع بما بين السرة والركبة.
Dalam konteks ushul fiqh, larangan terhadap
sesuatu mengindikasikan fasid (batal) pelaksanaannya, sementara dalam
hadis tersebut terkesan seperti membuka peluang keabsahan ibadah shalat yang
dilakukan oleh seorang wanita yang sedang mengalami haid dengan catatan menutup
aurat. Ini tentunya akan terjadi paradoks dengan prinsip-prinsip Islam yang
sudah secara tegas melarang wanta haid untuk shalat.
Nah, dari contoh itu mengindikasikan bahwa pemahaman
terhadap hadis tidak cukup dipadai dengan pemahaman tekstual saja. Dibutuhkan bidang
keilmuan lainnya untuk menggali pemahaman dari suatu hadis.
Kalimat حَائِضٍ
dalam hadis tersebut tidak bisa dimaknai dengan wanita yang sedang haid karena
akan menimbulkan kerancuan makna yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip
hukum Islam. Abu Abdullah bin Abdus Salam al-Lusi menafsirkan makna حَائِضٍ di sana dengan البالغة
(perempuan yang sudah mencapai usia haid atau perempuan yang sudah mencapai
usia baligh) bukan Wanita yang sedang haid. Di sini sudah terjadi peleburan makna
dari حَائِضٍ yang makna dasarnya adalah wanita yang
sedang haid menjadi wanita yang sudah baligh, atau dalam ilmu balaghah
(sastra) dikenal dengan kinayah atau majas.
Tidak hanya kalimat حَائِضٍ dalam hadis tersebut yang perlu ditelisik lebih dalam. Kalimat لَا يَقْبَلُ اللَّهُ juga membutuhkan
perhatian khusus. Bagaimana tidak, kalimat يَقْبَلُ
yang diambil dari kata dasar قبول yang
memiliki pengertian amalan yang sudah pasti diterima oleh Allah tidak mungkin
digunakan dalam hal ini karena diterima tidaknya sebuah amalan adalah perkara
yang khafi (tersembunyi), bukanlah perkara dhahir. Dan ini
bukanlah ranah manusia untuk mengklaim pasti suatu amalan diterima oleh Allah.
Sehingga lebih lanjut Abu Abdullah bin
Abdus Salam al-Lusi dalam kitabnya Ibanah al-Ahkam menyebutkan bahwa kalimat لَا يَقْبَلُ di sana bermakna لا
تصح yang secara implisit bermakna tidak sah shalatnya seorang wanita
yang sudah baligh melainkan dengan menutup auratnya. Ini bisa dipahami bahwa
hadis ini hanya menerangkan sah atau tidak sahnya shalat, bukan membicarakan
diterima atau tidaknya. Ini perbedaan yang sekilas hampir serupa padahal memiliki
pengaruh makna yang sangat signifikan.
Ini hanya sebagian kecil dari beberapa
hadis yang berpotensi salah dimaknai hanya karena tidak mendalami banyak
disiplin ilmu. Pemaknaan hadis tidak langsung bisa direduksi hanya pada
pemahaman teks secara harfiah, melainkan memerlukan pendekatan yang melibatkan
berbagai bidang keilmuan. Salah satu aspek yang krusial dalam memahami hadis
dengan benar adalah memiliki integrasi ilmu hadis, ilmu balaghah, dan bidang
keilmuan lainnya.
Dengan menggabungkan ilmu hadis, ilmu
balaghah, dan bidang keilmuan lainnya, kita dapat mencapai pemahaman yang lebih
akurat terhadap hadis. Ini bukan hanya penguasaan terhadap teks, tetapi juga
pemahaman mendalam terhadap konteks, bahasa, dan nilai-nilai yang terkandung
dalam ajaran Islam. Dengan demikian, harmoni ilmu membuka jalan menuju
pemahaman hadis yang mendalam dan menyeluruh.
Sumber: Ibanah al-Ahkam, Abu Abdullah bin
Abdus salam al-lusi.
0 Komentar