Doktor
Syeh ali jum’ah menyebutkan dalam salah satu kitabnya “tarikh ushul fiqh” bahwa
permasalahan yang mendapat perhatian serius dikalangan ushuly adalah perbedaan
antara ‘illat dan hikmah. Pada awal mulanya, mereka telah membedakan antara
‘illat dan hikmah walaupun keduanya datang dalam rangka menjawab pertanyaan
“kenapa”. Awalnya menurut mereka, ‘illat mempunyai dua kriteria: jelas dan
terukur (mundhabith). Sementara hikmah tidak seperti itu, terkadang hikmah
jelas dan tidak terukur, atau kadang terukur tapi tidak jelas. Maksud jelas
adalah dapat dilihat dengan mata (konkret), yakni sesuatu yang mungkin (bukan
mustahil) dilihat mata. Adapun mundhabith adalah terukur, punya batasan dan
tidak diperdebatkan.
Contoh
kenapa Allah mensyari’atkan akad diantara dua orang yang mau bertransaksi, baik
transaksi itu berupa akad jual beli, akad nikah atau yang lainya.? Jawabnya
adalah untuk menjelaskan dan melahirkan keridhaan. Akad dalam esensinya adalah
kecocokan antara kedua belahpihak akan tetapi, apakah ridha itu menjadi ‘illat
atau hikmah? Untuk menjawabnya, kita harus melempar pertanyaan lagi, “Dimana
tempatnya ridha?” jawabnya “ada didalam hati” Disini para ushuly berkata,
“ridha dalam konteks jual beli tidak tampak, sementara maksud yang ada dalam
hati merupakan hal yang samar samar dan tersembunyi. Jadi ridha bukanlah
‘illat, tetapi ia hanyalah hikmah. Demikian juga ridha, ia tidak terukur. Kalau
saya ingin menjual sesuatu yang saya punya karena membutuhkan uang, sementara
barang itu pada saat yang sama termasuk barang yang sayang untuk dilepaskan,
maka keredhaan dalam hati akan goyah. Selanjutnya keridhaan juga tidak bersifat
tetap, selalu ada dalam diri semua orang. Terkadang keredhaan itu ada dalam
satu akad, tetapi kadang juga ridha itu timbul tenggelam dalam akad yang lain.
Kembali
ke persoalan. Lalu apa yang dijadikan ‘illat dalam suatu akad? Ushulypun
mencarinya sampai ‘illat itu jelas terlihat, dia mencari sesuatu yang jelas dan
terukur. Akhirnya, dia tidak menemukan apapun selain ungkapan “saya menjual ini
kepadamu” dan “saya beli ini darimu” Dua ungkapan itu teratur dan jelas, bahkan
dapat disaksikan. Karenanya, seorang saksi berkata dalam kesaksiannya, “ya,
saya melihat dan mendengar sipulan berkata kepadanya, “saya menjual kepadamu”.
Atau, ia juga berkata “saya melihat dan
mendengar sipulan berkata, ‘saya membeli darinya.” Lalu, jika pembeli mengklaim
bahwa dalam hatinya tidak ada keredhaan maka haki tidak menghiraukan klaimnya,
kecuali jika pembeli itu dapat menunjukkan bahwa klaimnya itu jelas dan
terukur. Selanjutnya, seorang hakim juga tidak menghirakan klaimnya itu,
kecuali jikalau didepanya terdapat hal yang jelas-jelas membuktikan bahwa
jual-beli dilakukan dibawah tekanan atau penipuan.
Dari
pada itu, lafazh dalam teks juga dapat diposisikan sebagai ‘illat, karena
sifatnya jelas dan terukur. Darisini, para ushuly membuat prinsip dasar yang
diatasnya dibangun hubungan antara hukum, ‘illat dan hikmah. Mereka berkata “
keberadaan dan ketiadaan hukum beredar dengan ‘illatnya bukan hikmahnya.”
Sehingga, dapat dikatakan, betul hikmahnya terkadang tidak ada, tapi hukum
syara’ tetap berlaku, karena ‘illatnya memang ada.
Referensi:
Tarikh ushul fiqh, hal: 111, cet: Dar-Al muqtham li nasyri wa tauzi’, tahun:
2015
0 Komentar