Islam mengajarkan kita untuk senantiasa berlaku baik terhadap tamu dan juga memuliakannya, Karena tamu itu membawa keberkahan dan kebaikan.
Dalam Kitab Ihya Ulumiddin Imam al- Ghazali banyak Menjelaskan Kemuliaan tamu dan cara Menjamu tamu sesuai anjuran sunnah, salah satunya adalah penjelasan tentang adab menghidangkan makanan.
Ada 5 poin yang sangat penting mengenai adab menghidangkan makanan, yaitu :
1. Menyegerakan menghidangkan
makanan kepada tamu, Rasulullah bersabda " siapa saja yang beriman dengan Allah dan hari
akhir maka hendaklah ia memuliakan tamu". Hatim al- Asam juga pernah
berkata "Perkara yang terburu- buru datangnya dari syaitan kecuali lima
perkara :
1. Memberi makan tamu
2.Tajhiz mayat
3 Menikahkan anak gadis
4 Membayar hutang
5.Taubat.
Begitu juga pada acara Walimatul Ursy ,sebagian ulama
berpendapat; Walimah hari pertama Hukumnya sunah, Hari kedua Mubah (baik) Sedangkan walimah hari ketika adalah riya.
2. Menikmati makanan yang telah dihidangkan secara teratur. sesuai dengan anjuran medis yaitu mencicipi buah-buahan terlebih dahulu jika ada, yang khasiatnya lebih cepat dicerna dan sehat karena lebih awal berada pada dasar perut. Setelah buah-buahan, maka dianjurkan lagi untuk mencicipi daging dan tsarid (roti yang direndam dengan kuah). Nabi pernah bersabda bahwa kelebihan Aisyah dengan wanita lainnya yaitu seperti kelebihan tsarid dengan makanan lainnnya. Menandakan bahwa tsarid adalah mananan yang sangat dianjurkan untuk dikonsumsi. jika ditambah lagi dengan mengonsumsi makanan yang manis sesudah daging maka berkumpullah segala jenis kebaikan didalam tubuhnya yang mewarisi kepada ridha Allah SWT.
kemudian dianjurkan untuk meminum air putih serta mencuci tangan dengan air hangat.
3. Menyajikan hidangan yang ringan/lunak terlebih dahulu. sementara
kebiasaan orang yang bermewah-mewahan mereka lebih utama mendahulukan makanan
berat (bersifat cepat mengenyangkan) sehingga mudah terbangkitnya syahwat untuk mencicipi makanan ringan setelahnya, namun ini sebalik sunah nabi karena
dianggap mencari cara untuk memperbanyak makan. Sebagian dari sunah para
pendahulu, mereka menyajikan segala
jenis makanan sekaligus dan meletakkan piring diantara hidangan tersebut supaya
tamu dapat memilih sendiri makanan mana yang mereka inginkan dan. Dikisahkan
sebagian para sahabat terdahulu mereka
menyediakan selembar kertas dan menulis segala menu makanan yang telah
disediakan dan kemudian mereka menampilkannya kepada para tamu, sehingga para
tamu nantinya dapat memilih makanan mana yang mereka inginkan.
4. Jangan bersegera
memindahkan semua hidangan sebelum selesainya para tamu menikmatinya karena
terkadang ada sebagian hidangan yang lebih disukai para tamu.
5. Menyajikan makanan sesuai dengan
kadar kebutuhan, jangan sampai kurang ataupun berlebihan, karena menyedikitkan
dari kadar keperluan dapat menurunkan muruah/ martabat pemilik hidangan serta terlalu berlebihan
pada menyajikan hidangan merupakan sikap berpura- pura dan riya' apalagi terdapat perasaan tidak rela jika semua hidangan dihabiskan kecuali ada niat yang baik dari pemilik makanan untuk
memperoleh keberkahan dari para tamu dengan memakan kembali sisa makanan yang tidak habis dimakan oleh tamu.
Dikisahkan, Ibrahim bin Adham pernah menghidangkan makanan
yang banyak kemudian Sufyan bertanya " Wahai Aba Ishak apakah tidak engkau
takut semua ini akan berlebihan ?
lalu Ibrahim bin Adham pun menjawab " tidak ada
istilah berlebihan pada makanan".
Sikap Ibrahim bin Adham disini melebihkan makanan dengan tujuan yang baik, akan
tetapi jika tidak ada niat yang baik dalam menyajikan makanan yang banyak maka dianggap memberatkan diri sendiri. Ibnu
Mas’ud RA juga mengatakan, kami
pernah dilarang untuk menerima undangan seseorang yang berbangga-bangga
dalam menyajikan hidangan. dan juga satu golongan dari sahabat yang tidak suka mencicipi makanan orang yang berbangga- bangga. Ibnu Mas' ud sendiri tidak
pernah menyajikan hidangan dihadapan Rasulullah dengan berlebihan namun hanya
sekedar keperluan saja.
Dianjurkan pula
sebelum makanan dihidangkan, ahli bait ada baiknya memisahkan sebagian makanan tersebut untuk dirinya dan
keluarganya supaya nantinya mereka tidak menginginkan makanan yang telah
dihidangkan itu tersisa kembali jikalau tidak diambil separuh, andaikata
nanti hidangannya habis maka mereka tidak akan rela, sehingga timbulnya perasaan dan perkataan
yang tidak baik kepada para tamu.
Hidangan yang tersisa setelah perjamuan bukanlah milik tamu sehingga menurut
ahli sufi hukumnya dosa mengambil hidangan tersebut untuk dibawa pulang oleh tamu, kecuali diberikan
izin dan ridha dari tuan rumah, ataupun diketahui dengan indikasi bahwasanya
pemilik hidangan senang jika hidangannya yang lebih dibawa pulang oleh tamu namun jika ada dugaan tidak senangnya pemilik
rumah jika diambil makanan yang tersisa tadi maka dengan demikian tamu tidak boleh mengambilnya.
Referensi
Ihya Ulumuddin, cet Dar- al-Fikri, jld 2, hal.18-20*
0 Komentar