Jual Beli dengan Sampel Menurut Persepektif Syafi’iyah

 


Perlu kita ketahui bersama muamalah berasal dari kata “Amal/Amala”  yang berarti “berbuat”, selanjutnya menjadi “ Aamal/Aamala” yang berarti “saling berbuat”. Berarti terdapat “aksi” dan “reaksi”. Ada juga mengartikan bahwa muamalah adalah hubungan manusia dengan manusia lainnya. Jadi secara sederhana muamalah adalah hukum-hukum Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya mengenai keduniaan dan kebendaan (harta).


Salah satunya adalah transaksi jual-beli (Al-Bai’). Jual beli termasuk jenis usaha yang lebih Ghalib / sering dilakukan oleh Rasul dan para sahabat dibandingkan dengan mata Pencaharian lainnya seperti menggembala, pertanian, dan lain sebagainya. Di samping itu karena manfaatnya lebih umum dirasakan dan banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Seseorang tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa adanya Transaksi jual beli dalam kehidupan yang dialami sehari – hari.


Manusia yang senantiasa dinamis, maka timbul keinginan atau hasrat untuk menguasai dan memiliki barang yang ada di tangan orang lain. Cara “primitif” dan barbar sudah dilenyapkan , sekarang berganti dengan cara muamalah yang saling menguntungkan dan tidak memberi efek kerugian sesama. Sebelum menelusuri problematika yang akan dibahas maka terlebih dahulu Penulis memaparkan dasar kebolehan syariat jual beli. Dasar kebolehan jual beli adalah Al-Qur’an, hadits dan ijma’. Di dalam kitab Kifâyatul Akhyar, Syekh Taqiyuddin Al Husny menjelaskan pengertian jual beli menurut Islam, yakni sebagai berikut :

 البيع في اللغة إعطاء شيء في مقابلة شيء وفي الشرع مقابلة مال بمال قابلين للتصرف بإيجاب وقبول على الوجه المأذون فيه

Artinya: “Jual beli secara bahasa adalah bermakna memberikan suatu barang untuk ditukar dengan barang lain (barter). Jual beli menurut syara’ bermakna pertukaran harta dengan harta untuk keperluan pengelolaan yang disertai dengan lafaz ijab dan qabul menurut tata cara aturan yang diidzinkan (sah).”


Fenomema yang sering terjadi dikalangan masyarakat, para penebas acap membeli barang dengan cukup berbekal sampelnya. Kita juga sering mendapati orang jual beli perkakas rumah tangga, yang penjualnya hanya mendemonstrasikan sampelnya. Kadang hal ini lazim terjadi pada jamaah ibu-ibu PKK di kampung, begitu juga pada kasus saat kita menghendaki membeli telepon seluler atau perkakas elektronik lainnya, kita juga sering disuguhi sampelnya saja. Sementara barang yang dijual masih terbungkus dengan rapi. Sama hal nya Para penggemar baca buku juga demikian, bila ia hendak membeli buku di sebuah toko buku, seringkali para pedagang buku ini hanya membuka satu buku sebagai sampelnya untuk jenis dan kategori judul buku yang sama. Setelah terjadi jual beli (transaksi) , para pembeli tidak mengambil sampel, melainkan mengambil barang yang diwakili oleh sampel itu. Bagaimana kasus jual beli semacam ini, Apakah hukumnya boleh ?


Menurut pandangan Imam as-Syafi’i dan muridnya atau Yg menganut Mazhab nya, mereka ikut berpendapat, dengan membawa argument sebagai berikut :

قوله : ورئيته معطوف على ملك اي وشرط رؤيته :( : وقوله : اي المعقود عليه اي ثمنا، او مثمنا قوله ان كان معينا قيد في اشتراط عين الرؤية، أي تشترط الرؤية ان كان المعقود عليه معينا - اي مشاهدا حاضرا - فهو من المعاينة لا من التعيين - لأنه صادقا بما بوصفه، وليس مرادا . فلو كان المعقود عليه غير معين - بأن كان موصوفا في الذمة - لا تشترط فيه الرؤية، بل الشرط فيه معرفة قدره وصفته.

Artinya: perkataan Pengarang (ru'yatuhu) itu di 'athafkan pada lafaz milkun, dalam artian juga disyaratkan melihat barang (mabi), perkataan Mushannif (ma'qud 'alaih) apakah itu tsaman (uang) atau mutsman (barang), perkataan Mushannif (in kana mu'ayanan) adalah kriteria batasan dalam persyaratan melihat, dalam artian disyaratkan melihat, jika barangnya muayan bisa dilihat langsung dan ada dalam majlis akad, berasal dari masdar muayyanah bukan ta'yin, karena jika berasal dari masdar ta'yin maka akan mencangkup barang yang dijelaskan menggunkan sifat, dan itu tidak dikehendaki. Jika ma'qud alaih tidak muayyan seperti jika barang tersebut dijelaskan menggunakan sifat, maka tidak disyaratkan melihat, akan tetapi cukup disyaratkan mengetahui ukuran dan ciri-cirinya.


Maka kesimpulan hukum Jual beli dengan sampel adalah boleh, sebab tidak disyaratkan melihat barang, akan tetapi cukup disyaratkan mengetahui ukuran dan ciri - cirinya. Wallahu a'lam bishawab




Sumber: 

- Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatul Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr,

Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/2


• Abu Bakar Ad-Dimyati, I‟anatut Thalibin , juz 3(Lebanon: Darul Fikri, 2005),.

Posting Komentar

0 Komentar