Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ketika Allah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi mereka menolak untuk menanggungnya, hanya manusia yang memikul amanah tersebut, maka kebijaksanaan Allah SWT menghendaki untuk meringankan beban manusia yang lemah ini dari menyia-nyiakan amanah tersebut. Allah tidak membebaninya agar menunaikan salat lima waktu yang merupakan bagian dari amanah dalam satu waktu atau dalam waktu-waktu yang berdekatan karena akan memberikan kesulitan. Dan di balik penetapan waktu salat ke dalam waktu-waktu tertentu ini ada hikmah yang agung.
Manusia bangun pagi-pagi dari tidurnya dan mengambil sebagian waktu istirahat melalui tidur. Setelah itu memasuki waktu malam yang tidak ada pekerjaan sama sekali. Dia telah menjalankan semua itu untuk kehidupannya seperti firman Allah SWT, "Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan" (QS. an-Naba [78]: 4-5). Waktu di mana manusia tersadar dari tidurnya adalah waktu-waktu terindah, yaitu waktu fajar seperti dijelaskan oleh Allah dalam sumpah-Nya, Demi fajar, dan malam yang sepuluh (QS. al- Fajr [89]: 1-2).
Di waktu ini, keberadaan malam beranjak hilang dan bintang fajar mulai mengintip dari belakang tirai. Sehingga cakrawala menjadi jernih, udara menjadi bersih, dan alam semesta benar-benar diliputi ketenangan. Bumi terasa lapang dan langit begitu teduh dalam balutan pemandangan indah. Jiwa menjadi tenang, ruh menjadi suci, dan hati terbebas dari kesibukan-kesibukan. Jika manusia mengawali hidupnya dengan tata cara ini saat melakukan pekerjaan dan kesibukan, maka dia akan menjadikannya sebagai pembuka dalam menunaikan kewajibannya di hadapan Sang Maha Pemberi Rezeki dan Penciptanya. Sesungguhnya jika manusia tidur, maka anggota badannya terbius (diam) dan inderanya hilang. Oleh karena itu, tidur disebut juga dengan mati kecil. Dalam hal ini, manusia berpotensi untuk terjerumus ke dalam tipu daya dan bahaya. Dan dia tidak mempunyai pengawal kecuali pertolongan Tuhan yang menjaganya dari segala sesuatu yang menyakitinya. Ini adalah nikmat besar dan anugerah agung yang tidak mampu disyukuri oleh manusia. Oleh sebab itu, salat subuh berperan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat ini yang tidak bisa diukur dengan harga.
Setelah itu, manusia mulai mencari rezeki, bekerja keras, dan mengetuk pintu-pintu rezeki pada durasi waktu antara enam sampai tujuh jam. Dengan demikian, dia telah mengumpulkan sejumlah rezeki dan wajib menunaikan salat zuhur sebagai ungkapan rasa syukur kepada Pemberi Rezeki yang telah memberinya nikmat ini.
kemudian, dia mulai bekerja dengan kesibukan yang menjadi kepentingannya sampai waktu ashar, yakni ketika matahari benar-benar condong terbenam. Dan manusia benar-benar telah memperoleh rezeki pada hari itu. Maka dia wajib menunaikan salat asar sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Allah SWT yang telah membimbingnya untuk memperoleh rezeki tersebut.
Kemudian dia kembali bekerja hingga tiba waktu maghrib, yaitu waktu di mana seseorang benar-benar telah mengambil semua rezekinya. Oleh sebab itu dia menunaikan salat maghrib sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah menunjukkannya untuk menyempurnakan siangnya di dalam ketaatan kepada Allah, dan menunjukkannya untuk memperoleh rezekinya.
Kemudian setelah itu, dia makan dan beristirahat sampai waktu isya datang. Sehingga dia wajib menunaikan salat isya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas nikmat kesehatan dan nikmat makanan (rezeki) yang telah diperoleh tiap hari.
Perlu diketahui, waktu antara fajar hingga senja terkadang membuat manusia lupa akan Sang Pencipta dan Pemelihara. Jadi shalat dhuha diajarkan karena keagungan (kemuliaan) yang terkandung di dalamnya. Sungguh Allah bersumpah dengan waktu duha dalam firman-Nya, yaitu dengan terbitnya matahari. Dan untuk malam ketika keadaan sepi (gelap) (QS. ad-Duha [93]:1-3). Demikianlah deskripsi dari hikmah-hikmah agung dalam perbedaan waktu-waktu salat. Semoga Allah menunjukkan kita untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Nya, dan menunjukkan kita kepada jalan rida-Nya dengan karunia dan kemuliaan-Nya.
Ref : Kitab Tarekh Tasyrik Hal 54
0 Komentar