Mengoptimalkan Akal menurut Konsep Imam al Ghazali & Imam al Mawaridi


Telah kita ketahui bersama, salah satu nikmat yang besar dan luar biasa yang Allah curahkan yaitu butiran pemikiran kepada orang-orang yang memiliki akal. Dan Dzat yang telah menyingkirkan setiap tabir penutup yakni redup kebodohan dari langit akal pikiran. Sehingga menjadi terbit (cerah) matahari pengetahuan bagi mereka, pada akhirnya mereka dapat melihat setiap problematika rumit terselesaikan dengan jelas dan tuntas. Begitulah fungsi salah satu fungsi akal yang Tuhan ciptakan terhadap kita sebagai insan manusia.

Dengan demikian, bagaimanakah pengertian dan fungsi dari sebuah akal ?


Kata Akal (al-‘aql) berasal dari bahasa Arab, merupakan mashdar ‘aqala ya’qilu ‘aqlan artinya paham (tahu/mengerti) dan memikirkan (menimbang).

Jadi, akal dapat didefinisikan sebagai salah satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk menganalisis, menghafal, menyimpulkan dan menilai apakah bertimbal benar atau salah. Islam sangat mengecam terhadap manusia yang tidak memanfaatkan akalnya, dan sebaliknya memotivasi kita untuk maksimal dalam berpikir dan merenung agar meraih kebenaran yang hakiki, agar terhindar dari apa saja yang menjahannamkan, menyesatkan dan apa saja yang bisa membahayakan diri sendiri maupun orang lain. 

Dengan demikian, apakah kalian mengenal sosok Ulama dengan ahli pikir, ahli hukum, dan ahli filsafat islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan zaman manusia melalui karya karya tulisan tulisan yang beliau wariskan.


Beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi Al-Faqih Ash-Shufi Asy-Syafi‟i Al-Asy‟ari. Beliau lahir di Ghazelah, sebuah     kota kecil di Tus, Wilayah Khurasan (Iran), pada 450 H (1059 M)), dan wafat di Tabristan, sebuah wilayah di Provinsi Tus, pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 H/1 Desember 1111 M.


Semua karya beliau menjadi referensi penting dalam pemikiran islam. Di dalam salah satu karya Imam al Ghazali yg berjudul “ at Tibrul Masbuk fi Nashihatil muluk “ dengan sebuah hadis, menyinggung tentang kelebihan orang yang berakal (orang yg menggunakan akalnya kepada jalan baik & benar), yaitu :

قال النبي : ما قسم الله لعباده خيرا من العقل، ونوم العاقل خير من عبادة الجاهل . والعاقل المفطر خير الجاهل الصاءم وضحك العاقل خير من بكاء الجاهل 

( الامام الغزالی. التبر المسبوك ، ص١٢٠)

Nabi Muhammad SAW Bersabda : 

"Allah tidak membagi kepada hamba-hamba -Nya, sesuatu yang terbaik kecuali akal. Tidurnya orang yang berakal lebih baik daripada ibadah (ritual) nya orang bodoh. Orang yang berakal yang tidak puasa lebih baik daripada puasanya orang bodoh. Ketawanya orang yang berakal lebih baik daripada menangisnya orang bodoh."


Membahas tentang akal, Imam al Mawaridi pernah mengatakan : 

وَاعْلَمْ أَنَّ بِالْعَقْلِ تُعْرَفُ حَقَائِقُ الْأُمُورِ وَيُفْصَلُ بَيْنَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ.وَقَدْ يَنْقَسِمُ قِسْمَيْنِ: غَرِيزِيٍّ وَمُكْتَسَبٍ. فَالْغَرِيزِيُّ هُوَ الْعَقْلُ الْحَقِيقِيُّ. وَلَهُ حَدٌّ يَتَعَلَّقُ بِهِ التَّكْلِيفُ لَا يُجَاوِزُهُ إلَى زِيَادَةٍ وَلَا يَقْصُرُ عَنْهُ إلَى نُقْصَانٍ. وَبِهِ يَمْتَازُ الْإِنْسَانُ عَنْ سَائِرِ الْحَيَوَانِ، فَإِذَا تَمَّ فِي الْإِنْسَانِ سُمِّيَ عَاقِلًا وَخَرَجَ بِهِ إلَى حَدِّ الْكَمَالِالي ان قالوَأَمَّا الْعَقْلُ الْمُكْتَسَبُ فَهُوَ نَتِيجَةُ الْعَقْلِ الْغَرِيزِيِّ وَهُوَ نِهَايَةُ الْمَعْرِفَةِ، وَصِحَّةُ السِّيَاسَةِ، وَإِصَابَةُ الْفِكْرَةِ. وَلَيْسَ لِهَذَا حَدٌّ؛ لِأَنَّهُ يَنْمُو إنْ اُسْتُعْمِلَ وَيَنْقُصُ إنْ أُهْمِلَ.

"Dengan akal maka hakikat segala sesuatu dapat diketahui dan kebaikan dapat dibedakan dari keburukan, akal dibagi menjadi 2 :

1. gharizy (instingtif)

2. muktasab (perolehan)

Akal ingstingtif adalah akal haqiqi dengan ketentuan beban taklif yg tidak boleh melampaui beban batas maksimal dan tidak boleh kurang dari batas minimal. dengan akal ini manusia bisa dibedakan dari hewan . Jika akal ini dimiliki manusia secara sempurna maka dia disebut sbagai orang yg berakal dan cerdas, dengan akalnya dia bisa mencapai kesempurnaan.

Yang dimaksud dengan akal muktasab adalah hasil dari akal ingstingtif yakni hasil akhir pengetahuan, kebenaran strategi dan ketepatan pemikiran, akal muktasab ini tidak mempunyai batasan, karena dia akan tumbuh dan berkembang jika sering digunakan dan akan berkurang jika di abaikan "


Bisa kita mengambil hikmah dan pelajaran dari ungkapan kedua para ulama diatas.

Dengan adanya akal, manusia dapat membedakan hal yang baik dan buruk. Serta akal pula yang menjadikan pembeda antara manusia dengan binatang. Manusia menjadi lebih mulia dengan akal. Akal menjadikan manusia mampu berpikir secara logis dan terarah. , akal merupakan perantara kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena dengan akal yang sehat, manusia akan mampu menciptakan batasan-batasan bagi dirinya, apa-apa yang harus dikerjakan dan apa-apa yang harus ditinggalkan. Jadilah manusia yang bisa mengoptimalkan akal secara sehat sebab ia akan menjadi pilar terpenting dalam beragama secara benar, lebih bijak, bermanfaat dan lebih martabat.



Sumber :


• ( الامام الغزالی. التبر المسبوك ، ص١٢٠)

• (أدب الدنيا والدين للإمام أبي الحسن الماوردي)



Posting Komentar

1 Komentar

  1. شكرا أستاذ آمل أن تكون معرفة إضافية لي وبركة في طلب معرفة الله

    BalasHapus