Solusi Keluar dari Khilafiah Ulama pada Permasalahan Fiqh

Solusi Keluar dari Khilafiah Ulama pada Permasalah Fiqh

Perbedaan pendapat di kalangan ulama bagaikan sebuah taman yang dipenuhi aneka ragam bunga dengan berbagai macam warna dan bentuk, terlihat indah, cantik dan tidak membosankan bagi mata yang memandangnya. Berbeda halnya kalau taman yang hanya tumbuh satu macam bunga saja, maka akan terlihat kaku dan tidak terlihat olek di mata yang memandangnya. Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia dengan berbagai macam variasi, mulai dari warna kulit, bahasa, tabi’at, dan bentuk tubuh. Dalam keragaman inilah terdapat keindahan dan kesempurnaan. Dengan kata lain, perbedaan merupakan fitrah dan kehendak Allah subhanahu wata’ala. Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Maidah ayat 48:

ولو شاء الله لجعلكم أمة واحداة ولكن ليبلوكم في ما آتكم فا ستبقوا الخيرات

Artinya: “Kalau Allah mengkehendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”


Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda:

اختلاف أمتي رحمة

Artinya: “Perpedaan umatku adalah rahmat”.

                        Dalam kitab Bariqah Mahmudi’ah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata  أمتي” adalah para mujtahid yang saling berbeda pendapat dalam persoalan hukum-hukum syariat (fiqih) bukan dalam persoalan akidah. Sedangkan yang dimaksud “رحمة sebagaimana penjelasan dalam kitab Syarh al-Nail Wa Syifa al-Alil adalah Allah memberikan dispensasi dan kelonggaran bagi umat Islam ketika mendapati kesulitan dalam mengamalkam pendapat yang lain.


Khilafiah atau ikhtilaf sendiri diambil dari bahasa arab yang berarti berbeda, berselisih pendapat, tidak sepaham. Sedangkan secara fiqhiyyah adalah berbeda pemahaman atau pendapat dikalangan para ulama pada permasalah fiqh. Hal ini terjadi dari hasil ijtihad mereka masing-masing dalam hal menemukan dan menetapkan hukum tertentu.


Masalah khilafiyah adalah masalah yang sering terjadi dalam realitas kehidupan manusia, terutama sesama ummat Islam. Di dalam Islam sendiri ada empat mazhab fiqh yang mu’tabar sebagai landasan hukum dalam mengatasi persoalan dan tata cara kehidupan yang sesuai dengan arahan agama, mulai dari persoalan bersuci, mu’amalah yaitu hubungan antara satu manusia dengan manusia yang lain, munakahat yaitu hal-hal yang berkaitan dengan urusan pernikahan, jinayah yaitu perkara yang berhubungan dengan perusakan anggota badan atau jiwa orang lain dan faraid yaitu pembagian harta pusaka.


Semuanya termuat di dalam Al-Qur’an dan hadist, oleh karena itu sangat diperlukan seorang ulama yang dapat memahami dan mengetahui maksud kandungan dari setiap kalimat Al-Qur’an dan hadist itu sendiri. Sosok ulama ini dikenal dengan gelar atau titel ulama mujtahid muthlak, ia memiliki kemampuan dalam berijtihad langsung pada Al-Qur’an dan hadist, sejumlah ilmu wajib ia kuasai mulai dari ilmu bahasa arab seperti tafsir sampai ilmu sastra arab yang dikenal dengan balagah, mengetahui bagaimana istimbath hukum melalui ilmu ushul fiqh dan menciptakan kaidah sendiri dalam penetapan hukum.


Untuk mengatasi khilafiah yang terjadi pada sebuah kasus, ulama membuat solusi dengan dibuatnya satu kaidah fiqh yang bunyinya sebagai berikut:

الخروج من الخلاف مستحب

Artinya: “Keluar dari khilaf hukum adalah sunah”.


Berikut beberapa pandangan ulama tentang pengaplikasian kaidah tersebut disertai dengan syarat dan ketentuannya:

1.   Al-Kurdiy dalam kitab al-Fawaidul Madaniyyah menjelaskan bahwa pengaplikasian kaidah tersebut memiliki tiga syarat, yaitu:


a. Tidak terjerumus ke dalam khilaf yang lain, seperti pada kasus shalat witir. Shalat witir lebih utama dikerjakan secara terpisah daripada dikerjakan secara bersambung dengan satu kali salam walaupun Abu Hanifah membolehkannya, karena ada sebagian ulama yang berpendapat tidak boleh sambung.


b. Tidak menyalahi dengan hadist shahih, contoh pada kasus mengangkat dua tangan dalam shalat hukumnya adalah sunah walaupun ada pendapat ulama dari kalangan Mazhab Hanafi yang mengatakan batal shalat apabila mengangkat dua tangan dalam shalat, karena hal ini menyalahi dengan hadist shahih yang diriwayatkan oleh lima puluh sahabat.


c. Kuat dalil, maka jika seandainya dalil yang dijadikan itu lemah maka tidak disunahkan keluar dari khilaf.

 

2.   al-Alamah Ali Bakasir dalam kitabnya ada penambahan syarat di antaranya:


a. Maksud dari kuat dalil adalah dalil yang dijadikan sebagai penjelasan hukum tidak terjadi kekeliruan, sehingga puasa lebih utama daripada berbuka bagi musafir yang memiliki kekuatan untuk mengerjakannya. Karena demikian tidak diperhatikan pendapat Daud Az-zahiri yang mengatakan tidak sah puasanya. Kemudian Syeikh Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Basudan memberikan penjelasan tentang maksud dari lemah dalil yaitu batal hukum apabila dalil tersebut dijadikan sebagai pegangan hukum. Ibnu Abdissalam memberikan penjelasan kriteria dalil dari pendapat khilaf yaitu jauh sekali meleset dari kebenaran dan sangat lemah, maka sama sekali tidak diperhatikan dan tidak ada peninjauan sama. Karena dasarnya agama sangat berhati-hati pada segala perkara yang wajib dan sunat, sebagaimana halnya berhati-hati pada perkara yang haram dan makruh.


b. Pendapat Samhudiy mengutip perkataan Qadhi Husain, bahwasanya imam Syafi’i memberikan perhatian tentang keluar dari khilaf bila seandainya tidak sampai melakukan perbuatan yang haram dan makruh. Contohnya seseorang meninggalkan shalat zuhur dalam keadaan lupa dan meninggalkan shalat ‘asar dalam keadaan sengaja. Tata cara pelaksanaan menqadha dua shalat tersebut terjadi khilaf, apakah harus mendahulukan shalat ‘asar karena ditinggalkan tanpa alasan sehingga harus diqadha dengan segera atau mengqadha shalat zuhur terlebih dahulu, agar keluar dari khilaf Abi Hanifah yang mengwajibkan secara tertib saat pelaksanaanya. Maka jawaban yang diberikan oleh Syeikh Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Basudan yaitu mengqadha shalat zuhur terlebih dahulu dapat, karena mengqadha sahalat asr terlebih dahulu adalah hal yang dilarang, sebab pelaksanaannya harus secara tertib menurut pendapat Abi Hanifah.

Ref: Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Basudan , al-Maqasid al-Saniyyah, Cet. Darul Fatah, h. 134 -139.

Posting Komentar

0 Komentar