Pernikahan merupakan sebuah anjuran dalam agama yang diatur oleh syariat Islam dan merupakan satu-satunya sarana untuk menyalurkan kebutuhan biologis yang dilegalkan dalam Islam. Melalui sudut pandang ini, maka pada saat seseorang melakukan pernikahan, ia bukan saja ingin melakukan anjuran dari syari’at, namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologisnya yang secara kodratnya memang harus disalurkan. Tujuan utama dari pernikahan adalah untuk membentuk mahligai rumah tangga sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup dengan saling mencintai, menyanyangi dan saling melengkapi antara satu dengan yang lain.
Keluarga yang harmonis; sakinah, mawaddah dan rahmah adalah bentuk keluarga yang didambakan oleh setiap pasangan yang melangsungkan pernikahan. Diantara faktor yang menentukan keluarga tersebut harmonis ialah dengan berhubungan intim secara rutin dan berkualitas, karena bila dilakukan secara rutin dan berkualitas seks dapat merangsang tubuh untuk menghasilkan hormon endorfin. Hormon ini bisa mendatangkan kepuasan, perasaan cinta kasih dan kebahagiaan, bahkan dalam agama sendiri dianjurkan mengkonsumsi obat-obatan yang dibolehkan untuk membangkitkan gairah seks dan seks yang berkualitas serta tetap mematuhi aturan kedoktoran dengan tujuan untuk kemashlahatan dan untuk menghasilkan keturunan. Hal ini senada dengan ungkapan Sulaiman Jamal dalam kitabnya Hasyiah Jamal 'Ala syarh al-Manhaj, yaitu sebagai berikut:
ويندب التقوي له بأدوية مباحة مع رعاية القوانين الطبية ومع قصد صالح كعفة ونسل
Artinya: “Sunah membangkitkan gairah seks dengan obat-obatan yang dibolehkan serta tetap menjaga aturan kedokteran dan dengan tujuan untuk kemashlahatan atau menghasilkan keturunan”.
Banyak sekali kasus perceraian atau perselingkuhan terjadi disebabkan karena masalah pada hubungan intim yang tidak memuaskan sehingga menyebabkan retaknya hubungan keluarga mereka. Bahkan seorang suami terkadang membayangkan wanita untuk membangkitkan syahwatnya demi untuk memuaskan pasangannya. Nah, bagaimanakah hukum membayangkan wanita lain saat bersenggama dengan istri menurut perspektif mazhab Syafi'i?. Dalam hal ini mayoritas ulama mutaakhirin berbeda pandangan, namun menurut pendapat muktamad dan menurut mayoritas muhaqiqin (ulama yang tahqiq) seperti Ibn al-firkah, ibn al-Bazriy, Kamal al-Radad dan Jalaluddin al-Suyuthi menyatakan hal itu boleh dilakukan.
Refrensi:
1. Sulaiman Jamal, Hasyiah Jamal 'Ala syarh al-Manhaj, Jld. 4, Cet. Dar al-Fikr, h. 133.
وأما وطء حليلته وهو يتفكر في محاسن أجنبية أو أمرد حتى يخيل إليه أنه يطؤها أو يلوط فيه فقد اختلف فيه جمع متأخرون والذي ذهب إليه جمع محققون كابن الفركاح وابن البزري والكمال الرداد شارح الإرشاد والجلال السيوطي وغيرهم حل ذلك واقتضاه كلام التقي السبكي وهو المعتمد.
2. Syihabuddin al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj, Jld. 6, Cet. (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), h. 209.
أما وطؤه حليلته وهو يفكر في محاسن أجنبية حتى خيل إليه أنه يطؤها فقد اختلف فيه جمع متأخرون، والذي ذهب إليه جمع محققون كابن الفركاح وابن البزري والكمال الرداد شارح الإرشاد والجلال السيوطي وغيرهم حل ذلك، واقتضاه كلام التقي السبكي
3. Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, Jld. 7, Cet. (Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1983), h. 205.
(فرع) وطئ حليلته متفكرا في محاسن أجنبية حتى خيل إليه أنه يطؤها فهل يحرم ذلك التفكر والتخيل اختلف في ذلك جمع متأخرون بعد أن قالوا إن المسألة ليست منقولة فقال جمع محققون كابن الفركاح وجمال الإسلام ابن البزري والكمال الرداد شارح الإرشاد والجلال السيوطي وغيرهم يحل ذلك واقتضاه كلام التقي السبكي في كلامه على قاعدة سد الذرائع
0 Komentar