Hukum Jual-Beli Asi


Kondisi air susu pada masing-masing ibu memang beragam. Ada ibu yang memiliki ASI berlimpah, sementara yang lain mungkin mengalami kesulitan dalam memproduksi ASI yang cukup untuk kebutuhan bayi mereka. Dalam situasi ini, muncul pertanyaan mengenai kemungkinan ibu yang memiliki ASI berlebih untuk menjualnya kepada ibu yang kekurangan, serta bagaimana hukum transaksi ini dalam perspektif fikih.

Namun, terdapat pandangan yang memperbolehkan donor ASI dalam konteks tertentu, terutama bagi bayi yang tidak mendapatkan ASI dari ibunya. Mayoritas ulama dalam mazhab Syafi'i memang memiliki pandangan yang memperbolehkan jual beli ASI dengan beberapa pertimbangan. Dalam konteks ini, ASI dianggap sebagai benda yang suci dan memiliki kemanfaatan yang tinggi, terutama bagi bayi yang membutuhkan nutrisi. Salah satu dasar hukum yang digunakan adalah qiyas (analogi) terhadap susu hewan, seperti susu kambing, yang juga diperbolehkan untuk diperjualbelikan. ASI, seperti susu hewan, memiliki sifat yang serupa sebagai makanan yang bernutrisi dan bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu, dalam perspektif mazhab Syafi'i, ASI dapat dianggap layak untuk diperdagangkan.

يَصِحُّ بَيْعُ لَبَنِ الْآدَمِيَّاتِ؛ لِأَنَّهُ طَاهِرٌ مُنْتَفَعٌ بِهِ فَأَشْبَهَ لَبَنَ الشِّيَاهِ، وَمِثْلُهُ لَبَنُ الْآدَمِيِّينَ بِنَاءً عَلَى طَهَارَتِهِ، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ كَمَا مَرَّ فِي بَابِ النَّجَاسَةِ

Artinya: “Dan sah menjual susu perempuan karena benda tersebut suci, dapat diambil manfaat, maka disamakan dengan susu kambing-kambing. Demikian pula dengan susu yang dikeluarkan oleh pria (jika memungkinkan). Hal ini berdasarkan atas kesuciannya susu tersebut. Pendapat ini adalah yang dibuat pegangan sebagaimana pada bab najasah.


Hal senada juga disampaikan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab yang menyebutkan penjualan susu hukumnya diperbolehkan tanpa ada kemakruhan sama sekali. Demikian yang dibuat acuan mazhab Syafi’i dan menjadi keputusan pengikut-pengikut mazhab Syafi’i. Berbeda dari mazhab Hanafi dan Maliki. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menyatakan jual beli susu tidak diperbolehkan. Sedangkan di kalangan mazhab Hanbali terdapat dua perbedaan pendapat. Ulama yang tidak memperbolehkan berargumentasi bahwa menjual ASI bukanlah hal yang lazim. Selain itu ASI termasuk kelebihan daripada anggota tubuh manusia seperti halnya keringat, air mata, dan ingus. Hal ini berdasarkan kaidah “Sesuatu yang tidak boleh dijual secara global menjadi satu, maka tidak boleh dijual terpisah” seperti halnya rambut.

 قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ وعن أحمد روايتان كالمذهبين * وَاحْتَجَّ الْمَانِعُونَ بِأَنَّهُ لَا يُبَاعُ فِي الْعَادَةِ وَبِأَنَّهُ فَضْلَةُ آدَمِيٍّ فَلَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ كَالدَّمْعِ وَالْعَرَقِ وَالْمُخَاطِ وَبِأَنَّ مَا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ مُتَّصِلًا لا يَجُوزُ بَيْعُهُ مُنْفَصِلًا كَشَعْرِ الْآدَمِيِّ ولانه لا يؤكل لحمها فَلَا يَجُوزُ بَيْعُ لَبَنِهَا

Artinya: “Abu Hanifah dan Malik menyatakan tidak boleh menjual ASI. Dan dari Imam Ahmad menjelaskan ada dua perbedaan pendapat. Bagi ulama yang tidak memperbolehkan menjual ASI karena ASI bukan lah suatu hal yang biasa dijual dalam kebiasaan masyarakat. Dan ASI merupakan kelebihan anggota tubuh manusia, maka tidak boleh menjualnya sebagaimana air mata, keringat dan ingus. Dan setiap barang yang tidak boleh dijual secara global menjadi satu, maka tidak boleh menjualnya secara terpisah seperti rambut manusia. Manusia adalah jenis benda yang tidak diperbolehkan memakan dagingnya, maka dilarang menjual susunya”.


Dengan demikian dapat disimpulkan, jual beli ASI bagi mazhab Syafi’i diperbolehkan menurut pendapat yang paling kuat. Menurut Hanafi, Maliki, tidak memperbolehkan. Sedangkan mazhab Imam Ahmad menyatakan khilaf antar ulama. Tiap pendapat memiliki argumentasi dan dasarnya masing-masing. Umat Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i boleh saja mengambil pendapat keabsahan transaksi jual beli ASI, dengan tetap memperhatikan konsekuensi hukumnya, yakni terbentuknya hubungan mahram (haram dinikah) antara si anak penerima ASI dan si ibu penyuplai ASI, berikut cabang nasab turunannya.



Referensi:

1. Mughni al-Muhtaj, cet. Darul al-Kutub Islamiya, Juz 2, hal. 343

يَصِحُّ بَيْعُ لَبَنِ الْآدَمِيَّاتِ؛ لِأَنَّهُ طَاهِرٌ مُنْتَفَعٌ بِهِ فَأَشْبَهَ لَبَنَ الشِّيَاهِ، وَمِثْلُهُ لَبَنُ الْآدَمِيِّينَ بِنَاءً عَلَى طَهَارَتِهِ، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ كَمَا مَرَّ فِي بَابِ النَّجَاسَةِ وَيَصِحُّ بَيْعُ نِصْفِ دَارٍ شَائِعٍ بِنِصْفِهَا الْآخَرِ عَلَى الْأَصَحِّ، وَفَائِدَتُهُ عَدَمُ رُجُوعِ الْوَالِدِ فِيمَا وَهَبَهُ لِوَلَدِهِ، وَعَدَمُ رُجُوعِ الْبَائِعِ فِي عَيْنِ مَالِهِ عِنْدَ فَلَسِ الْمُشْتَرِي.


2. Majmu’ Syarh al-Muhazzab, cet. Dar al-Fikr, Juz 9, hal 254

قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ وعن أحمد روايتان كالمذهبين * وَاحْتَجَّ الْمَانِعُونَ بِأَنَّهُ لَا يُبَاعُ فِي الْعَادَةِ وَبِأَنَّهُ فَضْلَةُ آدَمِيٍّ فَلَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ كَالدَّمْعِ وَالْعَرَقِ وَالْمُخَاطِ وَبِأَنَّ مَا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ مُتَّصِلًا

لا يَجُوزُ بَيْعُهُ مُنْفَصِلًا كَشَعْرِ الْآدَمِيِّ ولانه لا يؤكل لحمها فَلَا يَجُوزُ بَيْعُ لَبَنِهَا


3. Majmu’ Syarh al-Muhazzab, cet. Dar al-Fikr, Juz 9, hal 254

(فرع) بَيْعُ لَبَنِ الْآدَمِيَّاتِ جَائِزٌ عِنْدَنَا لَا كراهة فيه هذا المذهب وقطع به الاصحاب الا الماوردى والساشى وَالرُّويَانِيَّ فَحَكَوْا وَجْهًا شَاذًّا عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْأَنْمَاطِيِّ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّهُ نَجِسٌ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ وَإِنَّمَا يُرَبَّى بِهِ الصَّغِيرُ لِلْحَاجَةِ وَهَذَا الْوَجْهُ غَلَطٌ مِنْ قَائِلِهِ وَقَدْ سَبَقَ بَيَانُهُ فِي بَابِ إزَالَةِ النَّجَاسَةِ فَالصَّوَابُ جَوَازُ بَيْعِهِ قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ هَكَذَا قَالَهُ الْأَصْحَابُ قال ولا نص للشافعي في المسألة هذا مذهبنا


Posting Komentar

0 Komentar