Hukum Khitan Perempuan

 

Hukum Khitan Perempuan

Deskripsi Masalah

Saat ini, masyarakat Indonesia digemparkan oleh Keputusan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 mengenai penghapusan sunat perempuan. Ketidakjelasan mengenai larangan khitan perempuan menyita perhatian umat Islam di Indonesia dan mengundang berbagai macam pro dan kontra. Salah satu alasan pelarangan khitan bagi perempuan adalah pandangan bahwa praktik ini melanggar hak asasi manusia (HAM), khususnya karena dianggap sebagai mutilasi genital perempuan (FGM) yang membahayakan kesehatan fisik dan psikologis. Di sisi lain, dalam syariat Islam, khitan dianggap sebagai bagian dari ajaran agama, meskipun tidak selalu diwajibkan bagi perempuan. kontroversi muncul karena khitan perempuan dalam beberapa budaya sering dilakukan dengan cara ekstrem yang bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM, sementara syariat Islam menekankan agar praktik ini dilakukan tanpa menimbulkan bahaya.

Pada dasarnya, keabsahan khitan perempuan dalam Islam sangat ditentukan oleh mekanisme pelaksanaannya, bagaimana Islam memandang fenomena larangan khitan bagi perempuan. Berikut ini adalah uraian singkat mengenai definisi khitan perempuan menurut medis, tipe-tipe khitan, mekanisme khitan menurut syariat, hikmah khitan, serta pandangan tentang khitan perempuan menurut HAM dan syariat.

Pertanyaan :

Bagaimana hukum khitan perempuan?

Jawaban :

A. Definisi khitan Perempuan Menurut Medis

Khitan perempuan dalam bahasa medis sering disebut dengan sirkumsisi maksudnya pemotongan organ kelamin pada perempuan yang populer dengan istilah Female Genital Mutilation (FGM). 13 Althus sebagaimana dikutip Suparjo dkk14 khitan perempuan adalah tindakan terhadap perempuan yang dilakukan dengan menghilangkan sebagian atau seluruh bagian alat kelaminnya atau melakukan tindakan tertentu terhadap perempuan dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan sensitivitas pada alat kelamin tersebut.

 

B. Tipe-Tipe Khitan Perempuan

Secara umum, terdapat empat tipe sunat perempuan, yaitu:

Tipe 1

Tipe sunat perempuan ini juga dikenal dengan sebutan klitoridektomi. Pada tipe ini, sebagian atau seluruh klitoris diangkat.

Tipe 2

Pada sunat perempuan tipe 2, tak hanya sebagian atau seluruh klitoris yang diangkat, tapi juga labia. Labia adalah "bibir" bagian dalam dan luar yang mengelilingi vagina.

Tipe 3

Pada sunat perempuan tipe 3, labia dijahit menjadi satu untuk membuat lubang vagina lebih kecil. Sunat perempuan tipe ini disebut juga dengan istilah infibulasi.

Tipe 4

Sunat perempuan tipe 4 mencakup semua jenis prosedur yang merusak alat kelamin wanita untuk tujuan nonmedis, termasuk dengan cara menusuk, memotong, mengikis, atau membakar.

Sekitar 90% kasus sunat perempuan termasuk dalam tipe 1, 2, atau 4. Sementara sisanya, yaitu sekitar 10% atau lebih, merupakan sunat perempuan tipe 3.

 

C. Mekanisme Khitan Perempuan Menurut Syara’

khitan bagi wanita adalah dilakukan dengan jalan memotong sebagian dari daging yang berada paling atas farji, tepatnya di atas lubang keluarnya air kencing yang bentuknya menyerupai cengger ayam, dan daging tersebut dinamakan bizhir."

Berdasarkan mekanisme yang telah dianjurkan oleh syara’ dari empat tipe di atas, maka mekanisme khitan yang dilakukan medis yang sesuai dengan ketentuan syara’ adalah tipe 1.yaitu memotong sebahagian bahkan, memotong sedikit lebih baik dalam pandangan syara’. Adapun pada klitoris yang kecil cukup di iris saja. Tiga tipe yang lain bertentangan dengan syara’ dan haram hukumnya, karena dianggap menyakiti.[1]

 

D. Hikmah Khitan Perempuan

Berikut beberapa hikmah khitan Perempuan:

1. Menambah kecantikan pada wajah

2. Memperbaiki budi pekerti perempuan

3. Menstabilkan syahwat

4. Memberikan rasa tambah lezat pada suami ketika bersenggama

5. Menjamin kebersihan dan kesucian pada alat vital Perempuan[2]

 

E. Khitan Perempuan Perspektif HAM dan Syara’

Pandangan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap khitan perempuan, atau yang lebih dikenal sebagai female genital mutilation (FGM), secara umum adalah bahwa praktik ini melanggar hak-hak dasar perempuan dan anak perempuan. FGM dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, melanggar hak atas integritas fisik, kesehatan, dan hak untuk bebas dari diskriminasi serta perlakuan tidak manusiawi. Sedangkan menurut perspektif syara’ tidak dikategorikan ke dalam pelanggaran HAM jika dilakukan sesuai dengan prosedur yang dianjurkan oleh syara’. Apabila terjadi kontradiksi antara perspektif syariat dan Hak Asasi Manusia (HAM), maka pandangan syariat harus diutamakan karena Imam wajib ditaati dalam perintah dan larangan yang sesuai dengan syariat, selama dia tidak melanggar hukum, yaitu tidak memerintahkan sesuatu yang dilarang. Sebab dia hanya memerintahkan apa yang dianjurkan oleh syariat. Ketaatan kepada imam harus mencakup ketaatan lahiriah dan batiniah, bukan hanya secara lahiriah saja. [3]

Referensi :

1.      I’annatu at-thalibin juz. 4, hal. 198, cet. Dar al-Fikri Beirut

فالواجب في ختان الرجل قطع ما يغطي حشفته حتى تنكشف كلها، والمرأة قطع جزء يقع عليه الاسم من اللحمة الموجودة بأعلى الفرج فوق ثقبة البول تشبه عرف الديك وتسمى البظر بموحدة مفتوحة فمعجمة ساكنة ونقل الاردبيلي عن الامام ولو كان ضعيف الخلقة بحيث لو ختن خيف عليه لم يختن إلا أن يغلب على الظن سلامته.

قوله: والمرأة إلخ) أي والواجب في ختان المرأة قطع جزء يقع عليه اسم الختان وتقليله أفضل لخبر أبي داود وغيره أنه ﷺ قال للخاتنة: أشمي ولا تنهكي فإنه أحظى للمرأة وأحب للبعل أي لزيادته في لذة الجماع، وفي رواية: أسرى للوجه أي أكثر لمائه ودمه.

2.     Tuhfah al-Muhtāj fi Syarh al-Minhāj, ibnu Hajar al- Haitami, Juz 9, hal. 198 Cet. Maktabah at-Tijariah kubra, Mesir

وَيَجِبُ أَيْضًا (خِتَانُ) الْمَرْأَةِ وَالرَّجُلِ حَيْثُ لَمْ يُولَدَا مَخْتُونَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا النحل ١٢٣﴾] . وَمِنْهَا الْخِتَانُ: اُخْتُتِنَ وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً. وَصَحَّ مِائَةٌ وَعِشْرُونَ لَكِنَّ الْأَوَّلَ أَصَحُّ. وَقَدْ يُجْمَعُ بِأَنَّ الْأَوَّلَ حُسِبَ مِنْ حِينِ النُّبُوَّةِ، وَالثَّانِي مِنْ حِينِ الْوِلَادَةِ. بِالْقَدُومِ اسْمُ مَوْضِعٍ وَقِيلَ: آلَةٌ لِلنَّجَّارِ، وَرَوَى أَبُو دَاوُد «أَلْقِ عَنْك شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ»، خَرَجَ الْأَوَّلُ لِدَلِيلٍ فَبَقِيَ الثَّانِي عَلَى حَقِيقَتِهِ وَدَلَالَةُ الِاقْتِرَانِ ضَعِيفَةٌ كَمَا حَقَّقَ فِي الْأُصُولِ، وَقِيلَ: وَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ سُنَّةٌ لِلنِّسَاءِ، وَنُقِلَ عَنْ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ

: ثُمَّ كَيْفِيَّتُهُ فِي (الْمَرْأَةِ بِجُزْءٍ) أَيْ: بِقَطْعِ جُزْءٍ يَقَعُ عَلَيْهِ الِاسْمُ (مِنْ اللَّحْمَةِ) الْمَوْجُودَةِ (بِأَعْلَى الْفَرْجِ)، فَوْقَ ثُقْبَةِ الْبَوْلِ تُشْبِهُ عُرْفَ الدِّيكِ وَيُسَمَّى الْبَظْرَ بِمُوَحَّدَةٍ مَفْتُوحَةٍ فَمُعْجَمَةٍ سَاكِنَةٍ قَالَ الْمُصَنِّفُ: وَتَقْلِيلُهُ أَفْضَلُ لِخَبَرِ أَبِي دَاوُد وَغَيْرِهِ أَنَّهُ ﷺ قَالَ لِلْخَاتِنَةِ: «أَشِمِّي وَلَا تُنْهِكِي فَإِنَّهُ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ لِلْبَعْلِ.» أَيْ: لِزِيَادَتِهِ فِي لَذَّةِ الْجِمَاعِ. وَفِي رِوَايَةٍ: «أَسْرَى لِلْوَجْهِ» أَيْ أَكْثَرُ لِمَائِهِ وَدَمِهِ.

«أشمِّي ولا تنهكي) وفي حديث أم عطية إذا خَفَضْتِ فأشِمِّي».

3.     Fiqh al-Manhaji juz. 3 Hal. 63. cet. Dar al-Qalam Damaskus

حكمة مشروعية الختان

والحكمة من مشروعية الختان إنما هي المبالغة في الطهارة، والنظافة، ولا شك أن إزالة القُلْفة أضمن لذلك، وأعون عليه وفي نظافة الظاهر إشعار بالحقّ على نظافة الباطن

قال الله عزّ وجلّ: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ  

    (البقرة : ٢٢٢)

4.     Majmu’Syarh al-Muhadzdzab. Juz.1. hal. 300-301. Cet. Dar al-Fikri Beirut

(فَرْعٌ)

الْخِتَانُ وَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ كَثِيرُونَ مِنْ السَّلَفِ كَذَا حَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ وَمِمَّنْ أَوْجَبَهُ أَحْمَدُ وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ سُنَّةٌ فِي حَقِّ الْجَمِيعِ (١) وَحَكَاهُ الرَّافِعِيُّ وَجْهًا لَنَا: وَحَكَى وَجْهًا ثَالِثًا أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الرَّجُلِ وَسُنَّةٌ فِي الْمَرْأَةِ: وَهَذَانِ الْوَجْهَانِ شاذان: والمذهب الصحيح المشهور الذى نصعَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ  وَقَطَعَ بِهِ الْجُمْهُورُ أَنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ: وَدَلِيلُنَا مَا سَبَقَ فَإِنْ احْتَجَّ الْقَائِلُونَ بِأَنَّهُ سُنَّةٌ بِحَدِيثِ الفطرة عشر وَمِنْهَا الْخِتَانُ فَجَوَابُهُ قَدْ سَبَقَ عِنْدَ ذِكْرِنَا تَفْسِيرَ الْفِطْرَةِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

5. Tuhfah al-Muhtāj fi Syarh al-Minhāj, ibnu Hajar al- Haitami, Juz. 3, Hal 546. Cet Dar Kutub al-Ilmiyah

تَجِبُ طَاعَةُ الْإِمَامِ فِي أَمْرِهِ وَنَهْيِهِ مَا لَمْ يُخَالِفْ الشَّرْعَ أَيْ بِأَنْ لَمْ يَأْمُرْ بِمُحَرَّمٍ وَهُوَ هُنَا لَمْ يُخَالِفْهُ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا أَمَرَ بِمَا نَدَبَ إلَيْهِ الشَّرْعُ وَقَوْلُهُمْ يَجِبُ امْتِثَالُ أَمْرِهِ فِي التَّسْعِيرِ إنْ جَوَّزْنَاهُ أَيْ كَمَا هُوَ رَأْيٌ ضَعِيفٌ نَعَمْ الَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ مَا أَمَرَ بِهِ مِمَّا لَيْسَ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ لَا يَجِبُ امْتِثَالُهُ إلَّا ظَاهِرًا فَقَطْ بِخِلَافِ مَا فِيهِ ذَلِكَ يَجِبُ بَاطِنًا أَيْضًا،

 

 

.

 

 

 



[1] I’annatu at-thalibin juz. 4, hal. 198, cet. Dar al-Fikri Beirut

 

[2] Fiqh al-Manhaji juz. 3 Hal. 63. cet. Dar al-Qalam Damaskus

[3] Tuhfah al-Muhtāj fi Syarh al-Minhāj, ibnu Hajar al- Haitami, Juz. 3, Hal 546. Cet Dar Kutub al-Ilmiyah

Posting Komentar

0 Komentar