Ranup adalah jajanan tradisional khas Aceh yang terbuat dari daun sirih, biji pinang, gambir, dan kapur, telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh terutama bagi yang telah berumur. Selain rasa yang unik, Ranup juga dikenal dengan berbagai manfaat kesehatan seperti, memperkuat gigi dan gusi, mengurangi bau mulut, mengobati sakit gigi, batuk, dan sakit maag, dll.
Bahan-bahan yang terkandung dalam Ranup, seperti daun sirih dan biji pinang, memiliki senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan. Daun sirih mengandung antibakteri, antidepresan, antifungal, antioksidan, antialergi, antidiabetes, dan antiparasit. Manfaatnya antara lain mencegah infeksi bakteri, menjaga sistem kekebalan tubuh, melancarkan pencernaan, menurunkan kolesterol, serta mencegah peningkatan kadar gula darah. Sementara itu, biji pinang juga bermanfaat untuk meregenerasi kulit dan mempercepat penyembuhan luka pada kulit.
Di India, masyarakatnya juga memiliki makanan khas serupa yang dikenal dengan nama paan, Hal ini juga dapat dibuktikan dengan adanya permasalahan fikih yang dibahas berkenaan dengan hal tersebut oleh ulama yang berasal dari malibar yaitu sebuah wilayah di India seperti dalam kitab iannatut thalibin. Namun, ada pertanyaan yang muncul terkait dampak dari tradisi ini terhadap ibadah, terutama salat dan puasa. Ranup yang dimakan dapat menghasilkan air liur merah akibat bahan alami yang terkandung di dalamnya. Jika air liur tersebut tertelan saat puasa atau shalat, apakah hal ini dapat membatalkan dua ibadah tersebut?
Dalam pembahasan fikih dijelaskan bahwa air liur yang tidak terkontaminasi dengan makanan atau bahan lain tidak akan membatalkan puasa atau salat, meskipun sengaja dikumpulkan. Namun, jika air liur tersebut mengandung najis seperti darah pada gusi, maka ibadah akan batal.
Jika air liur tersebut bercampur dengan benda yang suci seperti air liur yang berubah menjadi merah karena Ranup atau bercampur dengan pewarna benang yang dijilat maka hal itu dapat membatalkan puasa dan shalat.
Bila seandainya air liur sudah bersih namun rasa dari ranup tersebut masih tersisa maka itu tidak membatalkan puasa dan shalat.
Kesimpulan:
Dari pandangan para ulama yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa menelan air liur yang terpengaruh warna sirih yang mengubahnya menjadi merah dapat membatalkan salat dan puasa. Hal ini disebabkan oleh perubahan yang signifikan pada air liur yang terlihat jelas atau dibedakan. Oleh karena itu, penting bagi setiap muslim untuk memahami dampak dari kebiasaan mengunyah sirih terhadap sahnya ibadah mereka dan selalu berkonsultasi dengan ulama untuk memastikan keabsahan ibadah mereka.
Dengan demikian, meskipun Ranup memiliki banyak manfaat untuk kesehatan, pengaruhnya terhadap ibadah harus dipahami dengan baik, terutama dalam konteks salat dan puasa. Sebagai umat muslim, menjaga keabsahan ibadah adalah hal yang sangat penting, sehingga pemahaman tentang kebiasaan ini perlu disertai dengan kesadaran yang mendalam akan prinsip-prinsip agama.
Iannah:
وتبطل بمفطر وصل لجوفه وإن قل وأكل كثير سهوا وإن لم يبطل به الصوم فلو ابتلع نخامة نزلت من رأسه لحد الظاهر من فمه أو ريقا متنجسا بنحو دم لثته وإن ابيض أو متغيرا بحمرة نحو تنبل بطلت.
أما الأكل القليل عرفا ولا يتقيد بنحو سمسمة من ناس أو جاهل معذور ومن مغلوب كأن نزلت نخامته لحد الظاهر وعجز عن مجها وجرى ريقه بطعام بين أسنانه وقد عجز عن تمييزه ومجه فلا يضر للعذر.
Puasa:
وخرج بالعين: الأثر كوصول الطعم بالذوق إلى حلقه.
ولا يفطر بريق طاهر صرف أي خالص ابتلعه من معدنه وهو جميع الفم ولو بعد جمعه على الأصح وإن كان بنحو مصطكى أما لو ابتلع ريقا اجتمع بلا فعل فلا يضر قطعا.
وخرج بالطاهر: المتنجس بنحو دم لثته فيفطر بابتلاعه وإن صفا ولم يبق فيه أثر مطلقا لأنه لما حرم ابتلاعه لتنجسه صار بمنزلة عين أجنبية.
قال شيخنا: ويظهر العفو عمن ابتلي بدم لثته بحيث لا يمكنه الاحتراز عنه.
وقال بعضهم: متى ابتلعه المبتلى به مع علمه به وليس له عنده بد فصومه صحيح.
وبالصرف المختلط بطاهر آخر فيفطر من ابتلع ريقا متغيرا بحمرة نحو تنبل وإن تعسر إزالتها.
أو بصبغ خيط فتله بفمه!
Raudh:
فَرْعٌ) لَوْ (ابْتَلَعَ رِيقَهُ الصِّرْفَ) بِكَسْرِ الصَّادِ أَيْ الْخَالِصَ
ــلَمْ يُفْطِرْ) لِعُسْرِ التَّحَرُّزِ عَنْهُ (وَلَوْ بَعْدَ جَمْعِهِ) وَلَوْ بِنَحْوِ مُصْطَكَى فَإِنَّهُ لَا يُفْطِرُ بِهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ مَعْدِنِهِ وَابْتِلَاعُهُ مُتَفَرِّقًا جَائِزٌ (وَيُفْطِرُ بِهِ إنْ تَنَجَّسَ) كَمَنْ دَمِيَتْ لِثَتُهُ أَوْ أَكَلَ شَيْئًا نَجِسًا وَلَمْ يَغْسِلْ فَمَهُ حَتَّى أَصْبَحَ وَإِنْ ابْيَضَّ رِيقُهُ وَكَذَا لَوْ اخْتَلَطَ بِطَاهِرٍ آخَرَ كَمَا أَفْهَمَهُ قَوْلُهُ الصِّرْفُ كَمَنْ فَتَلَ خَيْطًا مَصْبُوغًا تَغَيَّرَ بِهِ رِيقُهُ (أَوْ زَايَلَ) رِيقُهُ (فَمَهُ) أَيْ خَرَجَ مِنْهُ وَلَوْ إلَى ظَاهِرِ الشَّفَةِ (وَلَوْ فِي خَيْطِ) الْخَيَّاطِ أَوْ امْرَأَةٍ فِي غَزْلِهَا لِإِمْكَانِهِ التَّحَرُّزَ عَنْ ذَلِكَ وَلِمُفَارِقَةِ الرِّيقِ مَعْدِنَهُ فِي الْأَخِيرَةِ (لَا) إنْ زَايَلَ رِيقُهُ فَمَهُ (فِي لِسَانِهِ) فَلَا يُفْطِرُ بِبَلْعِهِ إذْ اللِّسَانُ كَيْفَمَا تَقَلَّبَ مَعْدُودٌ مِنْ دَاخِلِ الْفَمِ فَلَمْ يُفَارِقْ مَا عَلَيْهِ مَعْدِنَهُ
Nihayah:
أَمَّا مُجَرَّدُ الطَّعْمِ الْبَاقِي مِنْ أَثَرِ الطَّعَامِ فَلَا أَثَرَ لَهُ لِانْتِفَاءِ وُصُولِ الْعَيْنِ إلَى جَوْفِهِ وَلَيْسَ مِثْلُ ذَلِكَ الْأَثَرِ الْبَاقِي بَعْدَ شُرْبِ الْقَهْوَةِ مِمَّا يُغَيَّرُ لَوْنُهُ أَوْ طَعْمُهُ فَيَضُرُّ ابْتِلَاعُهُ لِأَنَّ تَغَيُّرَ لَوْنِهِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ بِهِ عَيْنًا وَيَحْتَمِلُ أَنْ يُقَالَ بِعَدَمِ الضَّرَرِ لِأَنَّ مُجَرَّدَ اللَّوْنِ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ اكْتَسَبَهُ الرِّيقُ مِنْ مُجَاوَرَتِهِ لِلْأَسْوَدِ مَثَلًا. وَهَذَا هُوَ الْأَقْرَبُ أَخْذًا مِمَّا قَالُوهُ فِي طَهَارَةِ الْمَاءِ إذَا تَغَيَّرَ بِمُجَاوِرٍ
1 Komentar
Wah bagus
BalasHapus