Puasa merupakan ibadah yang memiliki kedudukan
penting dalam ajaran Islam. Tidak hanya sebagai bentuk pengendalian diri dari
makan dan minum, tetapi juga sebagai latihan spiritual untuk menjaga perilaku,
lisan, dan bahkan hal-hal yang tampak sepele namun dapat berdampak besar secara
hukum. Oleh karena itu, ulama menyusun batasan-batasan yang cukup rinci dalam
menentukan apa saja yang dapat membatalkan puasa.
Dalam pelaksanaannya, muncul berbagai
kebiasaan yang menjadi masalah namun sering tidak disadari. Namun,
prinsip-prinsip fiqih yang telah ditetapkan tetap dapat dijadikan acuan untuk
menimbang dan menyikapi kebiasaan-kebiasaan tersebut. Hal-hal kecil seperti
gerakan spontan, benda-benda yang dimasukkan ke mulut, atau bahkan sikap-sikap
tanpa niat tertentu dapat memunculkan pertanyaan baru: apakah ini membatalkan
puasa?
Permasalahan menjadi relevan ketika suatu
kebiasaan yang dianggap ringan seperti mengulum pulpen saat sedang menulis atau
menghisap jari ternyata mengandung unsur yang secara hukum yang serius dan
serupa dengan hal-hal yang telah ditetapkan sebagai pembatal puasa. Untuk itu,
penting untuk mengkaji lebih dalam dengan pendekatan analogi terhadap kasus-kasus
yang telah dibahas dalam kitab-kitab fiqih klasik.
Dalam literatur klasik mazhab Syafi‘i,
terdapat pembahasan tentang seseorang yang membasahi seutas benang dengan air
liurnya, lalu benang tersebut dikeluarkan dari mulut, kemudian dimasukkan
kembali dan air liurnya tertelan. Para ulama menetapkan bahwa puasa orang
tersebut batal karena air liur yang telah keluar dari mulut dihukumi sebagai
benda dari luar, sehingga menelannya kembali dianggap sama dengan menelan benda
asing.
Keterangan ini memberi gambaran bahwa sesuatu
yang keluar dari rongga mulut lalu kembali masuk dan tertelan dapat membatalkan
puasa, Prinsip inilah yang menjadi dasar dalam menentukan hukum untuk
kasus-kasus lain yang muncul diiringi oleh beberapa kebiasaan.
Salah satu kebiasaan yang sering dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari adalah mengulum kembali pulpen yang baru
dikeluarkan dari mulut dan terdapat liur yang ditelan, baik karena kebiasaan
berpikir, gugup, atau sekadar spontan. Juga seperti memasukkan kembali jari ke
mulut, seperti setelah membasahinya dengan liur untuk membalik kertas atau
membuka plastik dengan menelan air liur yang terdapat padanya, juga termasuk
kasus serupa karena melibatkan air liur yang keluar lalu kembali masuk ke
mulut.
Kebiasaan memasukkan benda ke dalam mulut saat
berpuasa, meskipun tampak sepele, dapat menimbulkan persoalan hukum jika benda
tersebut telah terkena air liur, lalu dikeluarkan dan dimasukkan kembali hingga
berpotensi tertelannya air liur yang terpisah. Dalam fikih klasik, hal semacam
ini dipandang dapat membatalkan puasa karena sesuatu yang telah keluar dari
mulut lalu kembali masuk dan tertelan dihukumi sebagai benda asing. Oleh karena
itu, dengan mempertimbangkan asas kehati-hatian, kebiasaan seperti ini
sebaiknya dihindari agar tidak merusak keabsahan puasa.
Referensi
«أو بل خيطًا بريقه ورده إلى فمه كما يعتاد عند الفتل وعليه رطوبةٌ انفصلت وابتلعها»
atau, jika seseorang membasahi seutas benang dengan air liurnya, lalu mengembalikannya ke dalam mulut sebagaimana kebiasaan ketika memintal, dan pada benang itu terdapat kelembapan yang terpisah, kemudian ia menelannya.
وقال بعضهم: متى ابتلعه المبتلى به مع علمه به وليس له عنده بد، فصومه صحيح، وبالصرف المختلط بطاهر آخر، فيفطر من ابتلع ريقا متغيرا بحمرة نحو تنبل، وإن تعسر إزالتها، أو بصبغ خيط فتله بفمه، وبمن معدنه ما إذا خرج من الفم لا على لسانه ولو إلى ظاهر الشفة ثم رده بلسانه وابتلعه، أو بل خيطا أو سواكا بريقه أو بماء فرده إلى فمه وعليه رطوبة تنفصل وابتلعها: فيفطر
Sebagian ulama mengatakan:
Apabila
seseorang menelan sesuatu yang menimpanya (masuk ke dalam mulut) dengan
sepengetahuannya, dan ia tidak memiliki pilihan lain (tidak mampu
menghindarinya), maka puasanya tetap sah.
Namun, jika
air liur bercampur dengan sesuatu yang suci lain, maka batal puasanya bila ia
menelan air liur yang berubah warnanya menjadi kemerahan seperti paan (ranup
sirih) , walaupun sulit untuk menghilangkannya.
Begitu juga
batal puasanya jika ia pewarna benang yang dipilin di dalam mulutnya, atau
sesuatu yang asalnya dari dalam mulut, lalu keluar tidak melalui lidah, bahkan
hanya sampai ke permukaan bibir, kemudian dikembalikan lagi ke dalam mulut
menggunakan lidah dan ditelan.
Demikian
pula, jika ia membasahi benang atau siwak dengan air liur atau dengan air, lalu
dimasukkan kembali ke mulut dalam keadaan basah yang dapat terpisah (dengan
sendirinya), kemudian ditelan, maka puasanya batal.
0 Komentar