Menikah adalah sebuah ikatan suci yang mempersatukan dua insan yang saling mencintai dan ingin hidup bersama hingga akhir hayat dalam bingkai hubungan yang diridhai oleh Allah SWT. Untuk mewujudkan tujuan dasar dari pernikahan, syariat menetapkan beberapa syarat dan rukun, sehingga bila syarat dan rukun itu terpenuhi, maka pernikahannya dianggap sah dan begitu juga dengan sebaliknya. Hukum dasar dari pernikahan adalah Jaiz (boleh), namun hukum tersebut tidak bersifat mutlak dan bisa berubah tergantung personal. Sebelum melaksanakan prosesi pernikahan, syariat menganjurkan untuk memperhatikan beberapa hal dari calon pasangannya. Di antaranya memperhatikan keturunan, karena menikahi keturunan yang baik akan memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan keluarga yang harmonis dan berakhlak.
Anak-anak yang lahir dari pasangan yang berasal dari keluarga baik
akan lebih mudah di didik dalam suasana penuh kasih sayang dan keteladanan.
Begitu juga sebaliknya, menikahi seseorang yang memiliki keturunan yang tidak
baik, juga memberi dampak tidak baik terhadap pernikahan dan keturunan yang
dihasilkan dari pernikahan itu sendiri. Contoh yang sering terjadi dalam
masyarakat adalah menikahi anak dari hasil zina. Secara garis keturunan anak
hasil zina dianggap tidak baik, sehingga ada anggapan masyarakat bahwa menikahi
anak hasil zina itu tidak sah. Anggapan ini dinilai mendiskriminasi hak-hak
mereka. Lalu, bagaimanakah sebenarnya hukum dan pandangan para ulama tentang
menikahi anak hasil zina?
Dalam hal ini Syeikh
Abdurrauf as-Singkili yang dikenal dengan gelar Tgk. Syiah Kuala, menjawab
dalamnya Mir'ah
ath-Thulab; Tentang hukum menikahi anak dari hasil zina.
Soal:
Apabila ada orang yang
bertanya, apa hukumnya orang yang menikah dengan anak hasil zina, apakah
pernikahannya sah atau tidak?.
Jawabannya:
Bahwa pernikahannya dengan dia adalah sah, akan tetapi hukumnya makruh. Dan demikian pula makruh menikahi anak dari orang fasik, anak yang di temukan terabaikan (laqit) dan anak yang tidak diketahui bapaknya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Fath al-Jawad bi Syarh al-Irsyad yang menyatakan bahwa bahwa makruh hukumnya menikahi wanita hasil zina, yaitu sebagai berikut:
ويسن أن لا يزوج بنته إلا من بكر
وقياسه ندب نظير الصفات الآتية في الزوج أيضا وهو ظاهر و( ولود ) وودود أولى للأمر
بهما ويعرف ذلك في البكر بأقاربها ولو عطف الصفات كما فعلت ليفيد أن كلا سنة مستقلة
كان أولى و(نسيبة) أي معروفة النسب إلى ذوي الصفات الحميدة أولى لقوله ل له:(تخيروا
النطفكم) بل يكره نكاح بنت الزنى وبنت الفاسق.
Artinya: “Disunnahkan agar seseorang tidak
menikahkan putrinya kecuali dengan laki-laki yang masih perjaka, dan secara
qiyas (analogi), disunnahkan pula memperhatikan sifat-sifat yang serupa pada
calon suami, dan hal itu jelas. laki-laki yang subur dan penyayang lebih utama,
karena adanya perintah untuk memilih keduanya. Kesuburan pada perjaka bisa
diketahui melalui keluarga dekatnya. Seandainya sifat-sifat tersebut disebutkan
secara bersambung sebagaimana yang telah aku lakukan (dalam penulisan ini) agar
menunjukkan bahwa masing-masingnya merupakan sunah yang berdiri sendiri, tentu
itu lebih utama. Dan disunahkan juga agar wanita itu bernasab, maksudnya
dikenal nasabnya kepada orang-orang yang memiliki sifat-sifat terpuji. Hal ini
lebih utama karena sabda Nabi SAW: “Pilihlah untuk tempat menaruh nutfah
(keturunan) kalian dengan baik”. Bahkan dimakruhkan menikahi anak perempuan
hasil zina dan anak perempuan dari orang fasik”.
Referensi:
1.
Ibnu Hajar al-Haitami, Fath al-Jawad bi Syarh
al-Irsyad, Cet: darul kutub ilmiyyah,
jild,3, hal, 9-10.
2.
Abdurrauf as-Singkili, Mir'ah ath-Thulab, hal, 51
,tanpa nama penebit.
0 Komentar