Filosofis Khusyuk dalam Shalat: Antara Pengendalian Jiwa dan Ketundukan Hati kepada Allah




Jiwa yang cenderung kepada kejahatan ibarat seekor binatang buas; liar, tak terkendali, dan mengikuti nalurinya tanpa arah. Ia hanya dapat dijinakkan melalui pengekangan dan pengendalian yang tegas, hingga akhirnya berubah menjadi jinak dan patuh pada pemiliknya. Bila jiwa telah terkendali, ia tidak lagi condong pada keburukan, melainkan hanya menginginkan kebaikan dan ketenangan, bagaikan hewan jinak yang digiring menuju padang rumput yang subur dan menenteramkan.

Apabila hewan gembalaan itu memiliki akal dan memahami maksud sang penggembala, tentu ia akan tunduk dan patuh, menyerahkan kendalinya dengan penuh kepercayaan. Namun, karena sifat alaminya yang liar, ketundukan justru menjadi satu-satunya jalan menuju kebahagiaannya. Demikian pula manusia, ketundukan dan kekhusyukan dalam salat merupakan tanda kerendahan hati di hadapan Allah SWT. Dari kekhusyukan itulah salat diterima, dan dalam penerimaan salat tersimpan kebahagiaan sejati: kebahagiaan abadi yang tiada bandingnya, yang nilainya tak terukur, dan yang tak akan mampu dibalas dengan rasa syukur sebesar apa pun kepada Dzat yang menganugerahkannya.

Akan tetapi, dengan perumpamaan ini dapat kita katakan bahwa hewan gembalaan tunduk kepada penggembalanya hanya dalam bentuk penyerahan fisik. Ia patuh karena dipaksa oleh kekuatan dan kekerasan, sementara sifat liarnya tetap tersembunyi di dalam jiwanya. Berbeda halnya dengan khusyuk, penyerahan diri seorang hamba dalam salat. Kekhusyukan adalah tanda bahwa hati telah tenang, suci dari segala keruhnya urusan dunia, dan sepenuhnya tertuju kepada Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Esa. Dalam keadaan itu, seorang hamba memandang kebesaran dan keagungan Sang Pencipta dengan mata hatinya, seakan-akan ia benar-benar melihat-Nya dengan mata kepala.

Sebagaimana disebutkan dalam hadis mulia tentang ihsan, ketika Malaikat Jibril bertanya kepada Rasulullah ﷺ sebagaimana diriwayatkan oleh Sayyidina Umar bin al-Khattab ra. tentang makna iman. Rasulullah ﷺ menjawab: "Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu."

Dari sinilah kita memahami bahwa kekhusyukan hati dalam salat, disertai kehadiran jiwa dan ketenangan anggota badan, merupakan tanda keimanan yang sempurna. Berikut ini akan dijelaskan sebagian dari makna kekhusyukan dan ketenangan hati ketika seorang hamba memulai salatnya.

Allah SWT berfirman dalam Al Quran:

يَاأَيُّهَا اْلِانْسَانُ اِنَّكَ كَادِحٌ اِلَي رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيْهِ 

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah berikhtiar menuju Tuhanmu dengan sungguh sungguh, dan kamu pasti akan menemuiNya”.(QS. Al-Insyiqaq: 6)

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

“Dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku”. (QS. Thaha: 14), 

Dan juga firman-Nya:

“Dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai”. (QS. Al-A‘raf: 205)

Sayyidah Aisyah ra. meriwayatkan: “Rasulullah ﷺ berbicara kepada kami, dan kami pun berbicara kepada beliau. Namun, ketika waktu salat tiba, seolah-olah beliau tidak mengenal kami dan kami pun tidak mengenalnya, karena beliau sepenuhnya tenggelam dalam keagungan Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung.”

Kisah ini menggambarkan betapa dalamnya kekhusyukan Rasulullah ﷺ dalam salat sebuah bentuk penghambaan yang memutuskan hati dari segala sesuatu selain Allah, hingga tiada yang tersisa dalam dirinya kecuali rasa tunduk, cinta, dan keagungan kepada Sang Pencipta.


Refrensi: 

Syeikh Ali bin Ahmad Al-Jarjawi Al-A’sari Al-Hambali, Hikmatu at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, cet. DKI, h. 53.


Posting Komentar

0 Komentar