Kaidah Adat Dapat Dijadikan Pijakan Hukum/ اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

A. Pengertian Kaidah


al-‘aadah (اَلعَادَة) secara bahasa diambil dari kata al-‘aud (الْعَوْدُ) atau al-mu’awadah ( الْمُعَاوَدَة) yang artinya berulang (التَكْرَار)

‘Ali Ibn Muhammad al-Jurjani mendefinisikan al-‘aadah dalam kitabnya, at-ta’rifat: 

 اَلْعَادَةُ مَا إِسْتَمَرَّ النَّفْسُ عَلَيْهِ عَلَى حُكْمِ الْمَعْقُوْلِ وَعَادُوْا اِلَيْهِ مَرَّةً بَعْدَ اُخْرَى

“Al-‘aadah ialah sesuatu yang terus menerus dilakukan oleh manusia, dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus”.

Terkadang ulama menyamakan antara al-‘adad dengan al-‘uruf dengan alasan subtansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda, sebagaimana yang didefinisi oleh ‘Ali Ibn Muh ammad al-Jurjani al-‘uruf dibawah ini:

اَلْعُرْفُ مَاإِسْتَقَرَّت ْالنُّفُوْسُ عَلَيْهِ بِشَهَادَة ِالْعُقُوْلِ وَتَلَقَّتْه ُالطَّبَائِعُ بِالْقُبُوْلِ وَهُوَ حُجَّةٌ أَيْضًا لَكِنَّهُ أَسْرَعُ اِلَى الْفَهْمِ بَعْدَ أُخْرَى

al-‘uruf ialah suatu perkara dimana jiwa merasakan ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiannya. Maka dari itu ia dapat dijadikan sebagai Hujjah, tetapi hal ini lebih cepat dimengerti. 

Dari definisi diatas dapat diambil pengertian bahwa al-‘adad dan al-‘uruf adalah dua perkara yang, memiliki arti yang sama. Secara umum adat adalah sebuah kecenderungan yang berupa pekerjaan atau ungkapan pada satu perkara tertentu. Dan masih banyak definisi lain yang ditawarkan para ulama berkenaan al-‘aadah dan al-‘uruf, namun tidak penulis nukilkan di sini dikarenakan Fuqaha tidak membedakan anatara dua istilah tersebut, termasuk dalam mengkaji kaedah ini. Kemudian fuqaha mendefinisikan adat sebagai norma, aturan yang telah tertanam dalam hati akibat pengulangan sehingga diterima sebagai sebuah realitas yang rasional dan layak menurut penilaian logika, seperti kebenaran umum yang diciptakan, dijalankan dan disepakati oleh komunitas tertentu, sehingga menjadi semacam keharusan yang harus ditaati.

Dari defenisi di atas, ada dua hal yang penting yang dapat disimpulkan yaitu, al-‘adah ada unsur berulang–ulang dilakukan dan al- ‘uruf ada unsur al-‘ma’ruf dikenal dengan suatu yang baik. Kata-kata al-‘uruf ada hubungannya dengan tata nilai dalam masyarakat yang dianggap baik, sehingga al’adah lebih tepatnya didefinisikan dengan “Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al’adah al’ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan dan tidak menyimpang sebagaimana dijelaskan oleh Imam Jalaludin ‘Abdu Rahman di dalam kitab asybah wanazair dibawah ini:

إِنَّمَا تُعْتَبَرُ الْعَادَةُ إِذَا اِطَرَدَتْ فَإِنْ إِضْطَرَبَتْ فَلَا

Artinya: "adat atau kebiasaan dianggap sebagai pijakan hukum berulang, berlaku umum, jika menyimpang maka tidak bisa dijadikan pijakan huku".

B.Sumber Pengambilan Kaidah
Para ulama usul fiqh mengemukakan beberapa sumber pengambilan dasar kaedah ini diataranya:
1. Alquran
a. Surat Al-Baqarah ayat 233

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ( البقرة : ٢٣٣

Artinya;”Dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf”. (QS. Al-Baqarah: 233)

b. Surat Al-‘Araf ayat 199

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ ( الأعرف : ۱٩٩

Artinya;”Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan makruf serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-‘Araf: 199)

Menurut As- Suyuthi sebagaimana dikutip oleh Syaikh Yasin bin Ismail, beliau
menyebutkan bahwa kata al’uruf pada ayat di atas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan pula oleh Syaikh Yasin, adat yang dimaksud disini adalah adat yang tidak bertentangan dengan syariat.

2. Hadis
Banyak sekali hadis yang menjadi dasar terbentuknya kaedah ini diantaranya ialah sebagai berikut;
a. Hadist riwayat Imam Ahmad

مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ (رَوَاهُ إِمَامٌ أَحْمَدُ )

Artinya: “apa yang dipandang baik oleh orang-orang islam, maka baik pula di sisi Allah”. (HR. Imam Ahmad"

b. Hadis riwayat Abu Daud

اَلْمِكْيَالُ مِكْيَالُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ ، وَالْوَزْنُ وَزْنُ أَهْلِ مَكَّة (رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُد

Artinya: “Ukuran berat (timbangan) yang dipakai adalah ukuran berat ahli Mekkah, sedangkan ukuran isi yang dipakai adalah ukuran isi ahli Madinah”. (RH. Abu Daud)

c. Hadis riwayat Bukhari dari Aisyah

أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ، سَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ إِنِّي أَسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرْ أَفَأَدْفَعْ الصَّلَاة فَقَالَ لَا إِنَّ ذَلِكَ عرق عِرْقٌ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِي كُنْتِ تَحِيضِينَ فِيهَا، ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ عَنِ الْعَئِشَةِ)

Artinya: “Fatimah binti Abi Hubasyi bertanya kepada nabi SAW, dia berkata: “saya ini berada dalam kondisi haidh yang tidak berhenti, apakah saya harus meninggalkan shalat?” nabi menjawab: “Tidak, itu adalah darah penyakit, tapi tinggalkanlah shalat berdasarkan ukuran hari-hari yang engkau biasa menstruasi. Kemudian mandilah dan shalatlah”. (HR. Al-Bukhari dari ‘Aisyah)

Dari hadis di atas, jelas bahwa kebiasaan wanita, baik itu menstruasi, nifas, dan menghitung waktu hamil terpanjang menjadi pegangan dalam penetapan hukum. Kata-kata qadra ayyam dan seterusnya menunjukkan bahwa ukuran- ukuran tertentu bagi wanita mengikuti yang biasa terjadi pada diri mereka.

C. Aplikasi Kaidah Dalam Kehidupan Sehari-Hari 
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa penerapan kaedah tersebut dalam hukum fiqh cukup banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam ranah hukum ‘ubudiah maupun dalam transaksi-transaksi syar’i atau yang biasa disebut dengan muamalah. diantaranya ialah sebagai berikut:
  1. Penentuan kedewasaan seseorang menurut syaria’at diserahkan kepada adat kebiasaan yang berlaku disuatu negara. Syari’at hanya memberikan perkiraan saja.
  2. Pemberian uang muka kepada pegawai sebelum dana pensiunannya turun, atau sebagian honorarium mengajar kepada pengajar yang belum selesai menjalankan tugasnya adalah diperbolehkan, karena memang demikian adat yang sudah berlaku.
  3. Kadar minimal najis yang dima’afkan, untuk mengetahui ukuran sedikit dan banyaknya najis ini semuanya dikembalikana pada penilaian adat, jika dianggap sedikit maka dimaafkan, bila dianggap banyak maka tidak dimaafkan.
  4. Menurut kebiasaan yang berlaku makanan yang disuguhkan kepada tamu boleh dimakan tanpa harus membayar.
D. Kaidah Cabang
Telah maklum bahwa setiap kaedah dasar pasti memiliki kaedah cabang yang senada dan miliki substansi sama walaupun berbeda dalam pengungkapannya. Pada kaedah al’adatu muhkamatun ini, terdapat beberapa kaedah cabang, diantaranya ialah sebagai berikut;
 1.

. إِنَّمَا تُعْتَبَرُ الْعَادَةُ إِذَا إِضْطَرَدَتْ أَوْ غَلَبَتْ

“Adat yang diangap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus menerus berlaku atau berlaku umum”.

Maksudnya ialah, tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa diajadikan pertimbangan hukum, apabila adat dan kebiasaan itu hanya sekali-kali terjadi dan tidak berlaku umum. Kaidah ini sebenarnya merupakan dua syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus menerus dilakukan dan bersifat umum (keberlakuannya). 
 2.

. اَلْعِبَرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّائِعِ لَا لِلنَّادِرِ

“Adat yang diakui adalah adat yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”

Contohnya, para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang, tetapi bila menggunakan kaedah di atas, maka waktu hamil terpanjang tidak akan melabihi satu tahun. Demikian pula menentukan menopause wanita dengan 50 tahun. 
 3. 
اَلتَّعْيِيْنُ بِالْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّصِ

“ketentuan berdasarkan ‘uruf seperti ketentuan berdasarkan nash”
Maksud kaedah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf yang memenuhi syarat adalah mengikat dan kedudukannya seperti penetapan hukum berdasarkan nash. Contohnya, apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut, maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan izin orang yang menyewakan.

Sebagaimana yang telah dimaklumi, kaedah ini merupakan sebuah kaedah aghlabiah, yakni tidak semua adat istiadat yang terjadi dalam masyarakat dapat dijadikan pijakan hukum, tetapi ada juga beberapa kebiasaan yang telah menjadi adat sebagian orang atau kelompok yang dikatakan dengan adat yang fasid, yaitu tradisi yang berlawanan dengan dalil syar’i, sehingga tidak dapat dijadikan pegangan hukum, diantaranya ialah sebagai berikut;
  1.  Al-‘adah yang bertentangan dengan nash baik Al-Quran maupun Hadist, seperti shaum terus-menerus, atau empat puluh hari atau tujuh hari siang malam, kebiasaan judi, menyabung ayam, kebiasaan menanam kepala hewan korban waktu membuat jembatan, kebiasaan memelihara babi dan lain sebagainya.
  2. Al-‘adah tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan kemaslahatan termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau kesukaran, seperti memboroskan harta, hura-hura dalam acara perayaan, memaksakan dalam menjual, dan lain sebagainya.
  3. Al-‘adah berlaku secara umum di kalangan kaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja., bila dilakukan oleh beberapa orang saja maka tidak dianggap adat.

E. Kesimpulan
Dari sejumlah uraian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa, ketika Islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai uluhiyah (ketuhanan) dan nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan) bertemu dengan nilai-nilai adat kebiasaan di masyarakat, di antaranya ada yang sesuai dengan nilai-nilai Islam meskipun aspek filosofisnya berbeda dan ada pula yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, maka di sinilah para ulama membagi adat kebiasaan yang ada di masyarakat menjadi al-’adah al-sahihah (adat yang sahih, benar, baik) dan ‘adah al-fasidah (adat yang mafsadah, salah, rusak). Adat, kebiasaan suatu masyarakat memberi daya vitalitas dan gerak dinamis dari hukum Islam dengan tidak kehilangan identitasnya sebagai hukum Islam. Hukum Islam menerima adat yang baik (al-shahihah) selama adat tersebut membawa maslahat untuk diterapakan.

Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, dalam artian bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah. Adapun adat itu dapat dijadikan landasan hukum apabila:
  1. Tidak bertentangan dengan nash
  2. Berlaku umum
  3. Tidak menimbulkan kerusakan atau lemafsadatan, dan
  4. Adat itu sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan pada ‘uruf itu.
Sumber : Asybah Wan'nadhair
               Formulasi Nalar Figh

وَاللهُ اَعْلَمُ

Post a Comment

0 Comments