Memuji Allah adalah bagian dari rasa syukur seorang hamba atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Banyak cara yang dapat dilakukan sebagai bukti rasa syukur tersebut, di antaranya yaitu berzikir dengan menyebut kalimat-kalimat yang pernah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Seperti lafaz masyaallah dan subhanallah. Dari dua lafaz ini, sering kita lihat perselisihan kecil yang mempermasalahkan penempatan mengucapkan subhanallah dan masyaallah. Sebenarnya kapan saja waktu yang tepat untuk mengucapkan dua lafaz tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita akan sedikit membahas sebuah hadits yang relevan dengan permasalahan di atas, yaitu riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Riwayat ini kami kutip dari kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi.
روينا في صحيحي البخارى ومسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم لقيه وهو جنبٌ فانسل فذهب فاغتسل فتفقده النبي فلما جاء قال أين كنت يا أبا هريرة فقال يا رسول الله لقيتني وأنا جنبٌ فكرهت أن أجالسك حتى أغتسل فقال سبحان الله إن المؤمن لا ينجس
“Sebuah hadits diriwayatkan kepada kami di dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. bahwa suatu hari Nabi Muhammad SAW berpapasan dengannya saat masih junub di sebuah jalan di Madinah. Abu Hurairah lalu pergi diam-diam meninggalkan Rasulullah kemudian mandi bersuci. Rasulullah saw. sendiri mencari ke mana sahabatnya menghilang. ‘Kamu tadi ke mana Abu Hurairah?’ tanya Rasulullah saw. setelah Abu Hurairah datang. ‘Saat tadi kita bertemu, aku masih kondisi junub ya Rasul. Aku enggan duduk bersamamu sebelum aku mandi,’ jawab Abu Hurairah. ‘Subhanallah, orang beriman itu tidak najis,’ sambut Rasulullah saw.”
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa Rasullullah ketika mengucapkan tasbihnya tidak hanya dalam perkara yang menakjubkan atau berupa pemberian nikmat. Namun Rasulullah juga melaksanakannya ketika beliau dihadapkan pada hal yang tidak diinginkan. Hadist di atas menggambarkan sebuah perilaku sahabat yang semestinya ‘tidak dilakukan’ (Meninggalkan Rasulullah untuk mandi junub) Namun, Rasulullah mengucapkan lafaz ‘Subhanallah’ atas perbuatan yang dilakukan oleh Abu Hurairah.
Lalu, apakah ada lafaz zikir yang dikhususkan ketika mengagumi atau terpesona oleh sesuatu? Sayyidina Umar pernah mengucapkan takbir sebagai rasa syukurnya karena Rasulullah tidak menceraikan istri-istrinya. Di kutip dari kitab Al-Futuhatur Rabbaniyyah Ala Adzkar An-Nawawiyyah.
باب التعجب بلفظ التسبيح والتهليل ونحوهما أى كالتكبير والحوقلة. وترجم البخارى باب التكبير والتسبيح عند التعجب، أخرج البخارى فى تعليقاته بصيغة الجزم عن ابن أبى ثور عن ابن عباس عن عمر قال قلت للنبى صلى الله عليه وسلم طلقت نسائك قال لا قلت الله أكبر
“Bab takjub yang diekpresikan dengan lafal tasbih, tahlil, dan lafal serupa keduanya antara lain seperti lafal takbir, lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh (hawqalah). Imam Bukhari mendahului bab takbir dan tasbih ketika takjub oleh sesuatu. Ia meriwayatkan hadits dalam Ta‘liqat-nya dari Ibnu Abi Tsaur, dari Ibnu Abbas, dari Sayyidina Umar RA. ‘Aku bertanya, ‘Apakah benar engkau menceraikan istri-istrimu ya Rasulullah?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Tidak.’ ‘Allahu Akbar,’ kujawab,’”
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, tidak ada pengucapan zikir yang khusus ketika melihat sesuatu yang menakjubkan atau mempesona. Kita boleh memilih zikir yang meliputi tahmid, takbir, tasbih, tahlil, dan zikir serupa itu.
Jadi, jangan sampai terjadi perselisihan hanya karena permasalahan sepele, dan ada baiknya menghindari perdebatan-perdebatan tanpa di dasari pendapat kuat dari para Ulama kita.
Referensi:
Imam An-Nawawi, Al-Adzkar Al-Muntakhabah min Kalami Sayyidil Abrar Shallallahu Alaihi wa Sallama, Darul Hadits, Kairo, tahun 1424 H/2003 M, halaman 308.
Muhammad bin Alan As-Shiddiqi, Al-Futuhatur Rabbaniyyah alal Adzkarin Nawawiyyah, Dar Ihya‘it Turatsil Arabi, Beirut, Libanon, juz 6 halaman 317.
0 Komentar