Mengapa Mubah Termasuk Hukum Taklifi ? Ini Penjelasannya !


Dalam kajian pembahasan ilmu Ushul Fiqh, pengertian dari hukum adalah titah atau ketentuan dari Allah Ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Kemudian hukum pada terklasifikasi menjadi menjadi dua pembagian, yaitu hukum Taklifi dan hukum Wadh’i. Defenisi dari taklif sendiri sebagaimana yang tertera dalam salah satu kitab Ushul Fiqh yakni Lubb al-Ushul karangan Zakariya al-Anshari, yaitu:

أن التكليف إلزام ما فيه كلفة
“Taklif adalah Pembebanan adalah sesuatu perkara yang mengandung unsur kesukaran didalamnya”.
 
Sedangkan Hukum Taklifi ialah titah atau ketentuan dari Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dengan landasan tuntutan dan pembebasan pilihan. Hukum taklifi terklasifikasi kepada enam pembagian, yaitu: Ijab, Mandub, Tahrim, Makruh, Khilaf Aula dan Mubah. Sedangkan pengertian dari hukum wadh’i ialah titah atau ketentuan dari Allah yang berbentuk sabab, syarat, mani’, shahih dan fasid. Terhadap para pecinta atau pengkaji ilmu Ushul Fiqh Sering menimbulkan sebuah pertanyaan atau kemusykilan berbentuk pertanyaan, “Mubah adalah ketentuan yang tidak ada unsur pembebanan, baik unsur perintah atau larangan, lantas tatkala tidak memiliki unsur pembebanan terhadap para mukallaf, termasuk dalam kategori manakah mubah tersebut?”
Dalam permasalahan ini, dalam kalangan ulama Ushul Fiqh sendiri berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa mubah tidak tergolong dalam hukum taklifi, karena tidak terdapat unsur tuntutan atau pembebanan. Sedangkan menurut Abu Ishak al-Asfirayaini berpendapat bahwa mubah tergolong dalam hukum taklifi, dengan alasan bahwa wajib mengakui perkara mubah adalah mubah, dan perkara wajib adalah bagian dari hukum taklifi.

​Kemudian apa alasan mubah tergolong dalam hukum taklifi ?. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya Ushul Fiqh al-Islami menjawab bahwa alasan mubah tergolong dalam hukum taklifi ialah di taghlib ke dalam hukum taklifi, alasannya ialah karena banyak perkara mubah diungkapkan dalam bentuk tuntutan.
 
Referensi:

Dr. Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Jld. 1, Cet. Ke- 17, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), hal. 95.

وأما المسألة الرابعة وهي هل المباح داخل تحت التكليف؟ فقال جمهور العلماء: إن المباح غير داخل في التكليف، إذ التكليف يقتضي طلب ما فيه كلفة ومشقة، وهذا غير متصور في المباح. ويقول أبو إسحاق الاسفراييني: إن المباح داخل تحت التكليف؛ لأنه يجب اعتقاد إباحته، والوجوب من خطاب التكليف. قال الآمدي : والحق أن الخلاف في هذه المسألة لفظي : (أي صوري) لعدم الالتقاء على محل خلاف واحد؛ لأن الجمهور نظروا إلى أصل الفعل، والاسفراييني نظر إلى الاعتقاد به. وإذا عرف ذلك فكيف يدخل المباح في الحكم التكليفي؟ يجاب على هذا بأن إطلاق الحكم التكليفي على المباح هو من باب التغليب. وقد يكون سبب التغليب هو أن كثيراً الأفعال المباحة جاءت بصيغة الطلب الذي هو الاقتضاء كما عرف في أساليب الإباحة.

Posting Komentar

0 Komentar