Perbedaan pendapat yang terjadi dalam
bidang fiqih merupakan suatu keniscayaan karena sebahagian besar hukum fiqh
dibangun atas dasar dalil yang bersifat zanni dalalah (dalil yang
masih memungkinkan untuk dipahami makna lain). Di samping itu, perbedaan cara
pandang terhadap sebuah dalil dan tingkat kemampuan dalam menginterpretasinya
juga melahirkan perbedaan yang banyak. Di antara sekian banyak pendapat yang
lahir tersebut ada yang disematkan dengan (pendapat kuat) dan ada juga yang
disematkan dengan (pendapat lemah). Menariknya, dalam banyak literasi fiqh
khususnya dalam bab qadha' (peradilan) disampaikan tentang etika dalam
memutuskan hukum harus berpedoman pada pendapat-pendapat kuat dalam mazhab.
Sebagai contoh kutipan syekh Zainuddin Al-Malibari atas pernyataan imam Subki
dalam kitab Fathul Mu'in.
قال السبكي وما خالف المذاهب الاربعة
كالمخالف للإجماع (أو بمرجوح) من مذهبه فيظهر القاضي بطلان ما خالف ما ذكر وإن لم
يرفع إليه بنحو نقضته أو أبطلته.
Imam Subki berkata: pendapat yang
menyelisihi 4 mazhab maka seperti menyelisihi ijmak (konsesus). Begitu juga
terhadap qhadi wajib mencabut sebuah keputusan yang berangkat dari pendapat
lemah dalam mazhab melalui pernyataan tegas, “aku telah mencabut” atau “aku
telah membatalkan keputusan tersebut.”
Dari sini dapat dipahami bahwa pendapat
kuat sebagai pedoman putusan hukum dalam ranah peradilan merupakan
undang-undang utama yang mengawal jalannya sidang. Di samping itu, juga banyak
ditemukan pernyataan-pernyataan tegas bahwa pendapat lemah dalam mazhab hanya
legal sebagai amaliah personal dan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Oleh
karna demikian, muncul sebuah pertanyaan sejauh mana kontribusi pendapat lemah
dalam mazhab? Apakah tidak ada celah untuk disampaikan ke ranah publik.
Sayyid 'Alawi As Saqqaf dalam kitabnya
Fawaidul Makkiyah menerangkan tentang klasifikasi para ulama dinilai dari
kapasitas kemampuannya.
1. Mujtahid mutlak (ulama yang mampu
menggali hukum langsung dari Al-Qur'an dan Hadist melalui undang-undang yang ia
buat sendiri) ia beramal dengan pendapat yang ia analisa sendiri dan tidak
boleh mengikuti orang lain.
2. Mujtahid muqayyad (ulama yang
mengerti seluk beluk sebuah mazhab secara mendalam, mampu untuk menguatkan
sebuah pendapat, juga mampu untuk melahirkan pendapat baru yang belum dicetus
oleh imam mazhab berdasarkan undang-undang imam mazhab) ia boleh beramal dengan
pendapat yang telah ia kuatkan karna kecenderungan terhadap dalil walau
pendapat tersebut lemah di sisi imam mazhab.
3. Faqih dalam sebuah mazhab (mengenal
pendapat kuat dan lemah dalam sebuah mazhab berbekal taklid semata. Ia tidak
memiliki kapasitas untuk men-tarjih sebuah pendapat dalam mazhab, tidak mampu
melahirkan satu hukum yang belum dicetus oleh imam mazhab) ia beramal dengan
pendapat-pendapat kuat dalam mazhab.
Selanjutnya, klasifikasi para ulama dalam ranah qhada' dan fatwa. Hal ini dijelaskan dengan sistematis oleh Muhammad bin Umar Al Kaf dalam kitab Al Mu'tamad 'Inda As Syafi'iyah.
Qadhi
1.
Qadhi yang memiliki kapasitas
untuk men-tarjih sebuah pendapat dalam mazhab dan mampu melahirkan pendapat
baru yang belum dicetus oleh imam mazhab. Qhadi yang memenuhi kriteria ini
boleh terhadapnya memutus hukum dengan pendapat yang menyelisihi pendapat kuat
dalam mazhab dengan catatan pendapat tersebut yang ia rasa kuat.
Mengenai hal ini ada beberapa syarat
yang harus terpenuhi.
* Pendapat tersebut ia rasa kuat
berdasarkan dalil yang baik.
* Jabatan qadhi yang diberikan tidak
mengharuskan ia memutus hukum berdasarkan pendapat kuat dalam mazhab.
* Pendapat tersebut bukan pendapat syaz
dalam mazhab.
Bila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka kebijakan hukum yang telah ia ambil harus dibatalkan dan
dicabut.
2.
Qhadi yang tidak memiliki
kapasitas men-tarjih sebuah pendapat dalam mazhab. Qhadi yang seperti ini harus
memutus hukum berdasarkan pendapat kuat dalam mazhab. Namun baginya boleh
memutus hukum berdasarkan pendapat lemah dalam mazhab dengan catatan adanya kemaslahatan
umum atau bila diperlukan.
Mufti
1.
Mufti yang memiliki kapasitas
untuk men-tarjih sebuah pendapat dalam mazhab. Mufti yang memenuhi kriteria ini
berfatwa dasar pendapat kuat dalam mazhab dan juga boleh berfatwa dengan
pendapat yang menyelisihi pendapat kuat dalam mazhab dengan catatan ia
menerangkan terhadap mustafti (orang yang meminta fatwa) bahwa pendapat
tersebut lemah dalam mazhab.
2.
Mufti yang tidak memiliki
kapasitas untuk men-tarjih sebuah pendapat dalam mazhab. Mufti yang seperti ini
harus berfatwa dasar pendapat kuat dalam mazhab. Namun, terhadapnya boleh
berfatwa dasar pendapat lemah bila adanya kemashlahatan umum atau bila
diperlukan.
Sumber :
Sayyid 'Alawi As Saqqaf, Fawaidul
Makkiyah, Hal 172, Cet Darul Faruq
Muhammad bin Umar Al Kaf, Al Mu'tamad
'Inda As Syafi'iyah, Hal 377
0 Komentar