Syeikh Muda waly al Khalidy An Naqsyabandy Al Asyiy Syeikh Masyayikh Aceh. Bagian II

Abuya Muda Wali al-Khalidi an Naqsyabandi

Syeikh Muda waly Pulang ke Aceh

Setelah Syeikh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah S.W.T., Perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pendidikannya serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di Blang Poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan pesantrten di desa beliau sendiri.

sekitar akhir tahun 1939 (umur beliau ketika itu baru 22 tahun), beliau kembali ke Aceh Selatan melalui perahu layar dari Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji. Beliau disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat Labuhan Haji.
Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad membagun sebuah pasantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas sebagai tempat tinggal beliau beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah.

Tulisan Abuya ditiang MesjidLahan tempat mendirikan mushalla yang diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan jamaah sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke surau beliau. Ibu-ibu pada malam selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam rabu dan harinya pula. Oleh karena itu, maka beliau ingin memperluas lahan untuk betul-betul memulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggalnya sekalian, yang dalam istilah Aceh, disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400x250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatangan sedikit demi sedikit, dari Kecamatan Labuhan Haji, dari kecamatan-kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerah pun pada berdatangan, khususnya dari berbagai propinsi di Pulau Sumatra. Bahkan kawan-kawan beliau yang dulunya sama-sama mengaji, setelah mendengar kepulangan Abuya Muda Wali dengan kealiman beliau banyak yang berguru ke pada Abuya, walaupun telah berkeluarga dan berusia lebih tua dari Abuya sendiri.

Nama-nama bagian pesantren Syeikh Muda waly

  1. Darul-Muttaqin
    di bagian ini terletak lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di sampingnya di bangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan tariqat Naqsyabanditah dan dijadikan tempat khalwat atau suluk 40 hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari pada bulan Rabiul awal
  2. Darul `Arifin
    di lokasi ini bertempat tinggal guru-guru yang sebagian besar sudah berumah tangga. Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia
  3. Darul Muta`allimin
    Ditempat ini bertempat tinggal para santri pilihan diantaranya anak Syeikh Abdul Ghani Al kampari, guru tasawuf Syeikh Muda Waly.
  4. Darus salikin
    dilokasi ini banyak asrama-asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.
  5. Darul zahidin
    lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini. Kalau bukan karena tempat lainnya sudah penuh, maka jarang sekali santri yang mau tinggal di lokasi ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan.
  6. Darul Ma`la;
    lokasi ini merupakan lokasi nomor satu karena tanahnya tinggi dan udaranya pun bagus dan terletak dipinggir jalan.
Semua lokasi ini dinamakan oleh Syeikh Muda waly dengan nama demikian sebagai tafaul (sempena) kepada Allah semoga semua santri yang belajar disitu menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa menuntut ilmu (Al-Muta`allimin), mengutamakan akhirat dari pada dunia (Az-Zahidin), hamba-hamba yang shalih mendapat tempat terhormat baik disisi Allah maupun dalam pandangan masyarakat.

Tak lama setelah mendirikan dayah, beliau menikah dengan seorang wanita dari Desa Pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren lain di ibu kota kecamatan. Pesantren ini merupakan sebuah pesantren khusus, pelajarnya juga tidak banyak. Para pelajar di pesantren ini secara langsung berhadapan dengan kaum orang orang yang berfaham wahabi sehingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama melalui perdebatan yang diadakan para pelajar membahas masalah masalah khilafiyah dengan dalil-dalilnya menurut pendirian ulama ahlussunnah wal jamaah.
Di pesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalangan Muhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga menjadikan majlis ini sebagai sebuah majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang ditujukan kepada Syeikh Muda Waly. Namun semuanya dapat di jawab oleh Syeikh Muda Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan.

Dayah Darussalam Labuhan HajiDi pesantren yang beliau bangun itu, Syeikh Muda Waly mengajarkan kepada masyarakat ilmu agama. Khusus untuk kaum ibu pada hari malam selasa, senin, atau malam senin. Pada malam senin kaum ibu ibu mendapat ceramah agama dari guru-guru yang telah ditetapkan oleh beliau. Sedangkan pada selasa pagi sebelum zuhur, setelah pengajian subuh, semua kaum ibu-ibu yang bermalam di pesantren ikut membangun pesantren dengan menimbun sebagian lokasi pesantren yang belum rata dengan batu yang diambil dari pantai. Satu hal yang aneh dan luar biasa yang merupakan karamah Abuya Muda Waly, batu itu dihempaskan oleh gelombang air laut ke pantai dan batu-batu itu berwarna putih bersih. Dan ini hanya terjadi di pantai yang berada di dekat pesantren. Setelah shalat Dhuhur para ibu-ibu tersebut mendapat ceramah dari guru yang telah ditentukan oleh Syeikh Muda Waly yang kemudian lanjutkan dengan tawajuh dalam tariqat Naqayabandyah dan shalat ashar. Sedangkan waktu untuk kaum laki-laki adalah pada selasa malam mulai maghrib hingga larut malam.
Pada setiap bulan Ramadan Syeikh Muda waly mengadakan khalwat untuk masyarakat yang dimulai sejak sepuluh hari sebelum Ramadan sampai hari raya idul fitri. Ada yang berkhalwat selama 40 hari ada juga yang 30 hari dan ada juga yang 20 hari. Selain dalam bulan Ramadan, khalwat juga diadakan dalam bulan Rabiul Awal selama 10 hari dan pada bulan Zulhijjah selama 10 hari semenjak tanggal satu sampai 10 Zulhijjah.

Sistem pendidikan pesantren Syeikh Muda Waly

Sistem pendidikan pesantren yang diterapkan oleh Syeikh Muda Waly terbagi kepada dua, yaitu:
  1. sistem qadim
    yakni sitem pendidikan yang telah berjalan bagi para ulama sebelumnya. Sistem ini menekankan supaya kitab kitab yang dipelajari mesti khatam. Oleh Karena guru hanya membaca, menerjemahkan dan menjelaskan sepintas lalu makna yang terkandung di dalamnya. Menurut beliau sistem ini kita bagaikan naik bus pada malam hari, yang kita lihat hanyalah jalan yang disorot oleh lampu bus saja. Walaupun perjalanannya panjang dan banyak yang kita lihat tetapi hanyalah sekedar jalan yang diterangi oleh lampu bus saja, sedangkan dikiri kanannya kita tidak melihatnya.
  2. sistem madrasah
    Pada sistem ini para pelajar sudah mengunakan bangku dan papan tulis. Pada sistem kedua ini tidak ditekankan pada khatam kitab, tetapi harus banyak diskusi untuk pendalaman. Sebagai contoh, apabila pelajaran fiqh yang dibaca adalah kitab Tuhfah Al Muhtaj Syarah Minhajul Thalibin karangan Syaikhul Islam Imam Ibnu Hajar al-Haitami, maka yang dibaca hanya sekitar 10 baris saja, dilanjutkan dengan pembahasan pada matannya, syarahnya serta hasyiah-hasyiahnya serta pendalaman berdasarkan dalil-dalilnya baik dari Al Qur-an, Al-Hadis ataupun disiplin ilmu lainnya. ini memang memakan waktu yang lama, tetapi bila para santri terbiasa dengan sistem ini maka akan menghasilkan pemahaman yang mendalam dalam memahami kitab kuning. Rupanya kedua sitem ini sangat menarik sehingga banyak santri yang berdatangan ke Darussalam yang berasal dari berbagai daerah.

Tingkatan pendidikan di dayah Darussalam

Dalam sistem pendidikan dayah, Abuya membagi tingkatan pendidikan di dayah Darussalam kepada enam jenjang, yaitu:
  1. Marhalah Ula Tarbiyah ash-Shibyan
  2. Marhalah Tsaniyah Ibtidaiyah at-Tarbiyah al-Islamiyah
  3. Marhalah Tsalitsah Tsanwiyah athTarbiyah al-Islamiyah
  4. Marhalah Rabi`ah Tautiah Bustanul Muhaqqiqin
  5. Marhalah Khamisah Ibtidaiyah Bustanul Muhaqqiqin
  6. Marhalah Sadisah Tsanawiyah Bustanul Muhaqqiqin wa Mudaqqiqin

Abuya dan anak-anak beliau Syeikh Muda Waly mengamalkan ilmunya dengan luar biasa. pukul 6.00 pagi beliau mengajar semua santri mulai dari tingkat yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Disini terbuka pintu bagi semua santri untuk menanyakan segala sesuatu tentang lafaz yang beliau baca. Pukul 9.00 pagi setelah sarapan dan shalat dhuha belaiu mengajar pada tingkat yang lebih tinggi, yang terdiri dari para dewan guru. Kitab yang dibaca adalah Tuhfah Al Muhtaj, jam`ul jawami`, Syuruh Talkhish fil Balaghah dan Syarah Syamsiyah fil Mantiq. Sesudah ashar beliau juga menyediakan waktu bagi siapa saja yang berminat mengambil ilmu dari beliau. Syeikh Muda Waly sangat disiplin dalam mengajar sehingga dalam kondisi sakit pun beliau tetap mengajar. Pernah pada satu kali pada saat beliau sakit, para murid beliau sepakat untuk tidak mendebat beliau, tetapi hanya mendengarkan penjelasan dari beliau. Rupanya hal ini membuat beliau marah, kenapa para murid beliau tidak mendebat beliau. Pertanyaan dan debatan dari murid-murid beliau rupanya menjadi obat yang sangat mujarab bagi beliau. Tetapi beberapa saat setelah mengajar beliau kembali jatuh sakit. Ketekunan dan kedisiplinan beliau dalam mendidik muridnya telah membuahkan hasil yang luar biasa, sehingga dari beliau lahirlah puluhan ulama-ulama yang menjadi benteng Ahlus sunnah di Aceh dan sekitarnya. Hampir seluruh pesantren di Aceh sekarang ini mempunyai pertalian keilmuan dengan beliau dan dari murid-murid beliau lahir pulalah ulama-ulama terpandang dalam masyarakat. Dengan adanya perjuangan beliau, perkembangan faham wahabi dan ide pembaruan terhadap ajaran islam yang telah menjalar ke sebagian tokoh tokoh di Aceh dapat ditekan. Beliau sangat istiqamah dengan faham Ahlussunnah dan mazhab syafii.

Murid murid Syeikh Muda waly

Diantara murid murid Syeikh Muda waly adalah:
  1. Al-Marhum Tgk. H. Abdullah Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah Darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireun.
  2. Al-Marhum Tgk. Abdul Aziz bin Shaleh, pimpinan pesantren MUDI MESRA (Ma`hadal Ulum Diniyah Islamiyah) Samalanga, Bireun.
  3. Al-Marhum Tgk. Muhammad Amin Arbiy. Tanjongan, Samalanga, Bireun.
  4. Tgk. H. Muhammad Amin Blang Bladeh (Abu Tumin) pimpinan pesabtren Al Madinatut Diniyah Babussalam, Blang Bladeh Bireun.
  5. Teungku H. Daud Zamzamy. Aceh Besar.
  6. Abu Hanafi Matang kuli, Aceh Utara, Pimpinan Dayah Babussalam Matangkuli, Aceh Utara.
  7. Al-Marhum Tgk. Syeikh Syihabuddin Syah (Abu Keumala) pimpinan pesantren Safinatussalamah, Medan.
  8. Al-marhum. Teungku Adnan Mahmud (Nek Abu) pendiri pesantren Ashabul Yamin Bakongan Aceh Selatan.
  9. Al-Marhum.Tgk Syeikh Marhaban Krueng Kalee (putra Syeikh Hasan Krueng kale) mantan menteri muda era Sukarno.
  10. Al-Marhum. Tgk. Muhammad Isa Peudada
  11. Al-Marhum. Tgk. Ja`far Shiddiq Kuta Canee
  12. Al-MarhumTgk. Abu Bakar sabil, Meulaboh Aceh Barat
  13. Al-MarhumTgk. Usman fauzi, Cot Iri, Aceh Besar.
  14. Al-Marhum Syeikh. Prof. Muhibbuddin Waly (putra beliau sendiri yang paling tua)
  15. Al-Marhum Syeikh Jailani Musa
  16. Al-Marhum Syeikh Labai Sati , Padang Panjang
  17. Al-Marhum Tgk. Qamaruddin ,Teunom. Aceh Barat
  18. Al-Marhum. Tgk. Syeikh Jamaluddin Teupin Punti, Lhok sukon, Aceh utara
  19. Al-Marhum. Tgk. Syeikh Ahmad Blang Nibong Aceh Utara
  20. Al-Marhum. Tgk. Syeikh Abbas Parembeu, Aceh Barat
  21. Al-Marhum. Tgk. Syeikh Muhammad Daud, Gayo
  22. Al-Marhum. Tgk. Syeikh Ahmad, Lam Lawi, Aceh Pidie
  23. Al-Marhum. Tuanku Idrus, Batu Basurek, Bangkinang
  24. Al-Marhum. Tgk. Syeikh Amin Umar, Panton labu
  25. Syeikh Nawawi Harahap, Tapanuli 
  26. Al-Marhum. Tgk Syeikh Usman Basyah, Langsa
  27. Al-Marhum. Tgk. Syeikh Karimuddin, Alue Bilie, Aceh Utara
  28. Al-Marhum. Tgk. Syeikh Basyah Kamal Lhoung, Aceh Barat
  29. Dan lain lain banyak lagi…..
klik disini untuk melihat bagian pertama
Bersambung...

Post a Comment

2 Comments

  1. saya ingin sedikit bertanya masalah sistim perdidikan pada poin dua, ''para pelajar sudah mengunakan bangku dan papan tulis''
    apakah memang abuya telah menggunakan cara ini. mohon maaf karena saya belum pernah tahu saja masalah ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar, saat itu dalam beberapa majlis Abuya sudah menerapkan sistem bangku, seperti dalam majlis Bustanul Muhaqqiqin, Abuya menggunakan meja dan bangku,,demikian yang tertulis dalam buku karangan Abuya Prof. Muhibuddin dan juga yang kami dengar cerita dari beberapa sumber

      Delete