Bolehkah Kita Nisbahkan Perbuatan Buruk Kepada Allah Ta'ala ?





Menyakini terhadap Qadar baik dan buruk merupakan hal yang diwajibkan bagi seluruh orang yang beriman, karena salah satu rukun iman yang wajib diyakini adalah mempercayai terhadap qadar dan qadha baik atau buruk, sebagaimana yang telah diutarakan oleh Syekh Ibrahim al-Laqani dalam nadhamnya Jauharah Tauhid :

‎وواجب إيماننا بالقدر  *  وبالقضاء كما أتى فى الخبر

Artinya : “Wajib terhadap kita mempercayai qadar dan qadha sebagaimana dalam hadis”.

Namun timbul pertanyaan dibenak kita, apakah boleh kita katakan bahwa perbuatan buruk adalah qadar Allah ?. Dalam permasalahan qadar dan qadha’ ada dua kubu yang saling kontradiksi, yaitu kubu Ahli Sunnah Wal Jama’ah dan Mu’tazilah :

1. Ahli Sunnah Wal Jama’ah

Menurut Ahli Sunnah wajib kepada orang yang beriman untuk menyakini bahwa perbuatan baik dan buruk adalah kehendak dari Allah, sebagaimana dalam hadis nabi :

‎لا يؤمن عبد حتى يؤمن بأربعة : يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله بعثني بالحق¸ويؤمن بالبعث بعد الموت, ويؤمن بالقدر خيره وشره حلوه ومره.

Artinya : “Tidak dianggap beriman seorang hamba sehingga ia beriman terhadap empat perkara : pertama, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Kedua, beriman sesungguhnya aku utusan Allah. Ketiga, beriman dengan dibangkitkan setelah kematian. Keempat, beriman dengan qadar dan qadha, baik atau buruk, pahit atau manis”.

2. Mu’tazilah

Menurut pendapat mu’tazilah bahwa perbuatan buruk bukan qadar atau kehendak dari Allah. Mereka berkata bahwa Allah menghendaki pada orang kafir yaitu keimanan bukan kafir, dan menghendaki kepada orang maksiat yaitu ketaatan bukan maksiat, dan bahwa kehendak yang buruk merupakan buruk. Maka menurut mu’tazilah begitu banyak perbuatan hamba yang berbeda dengan kehendak (iradah) Allah SWT.

Pendapat mu’tazilah diatas jelas-jelas bertentangan dengan ayat Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 125 :

‎فَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ اَنْ يَّهْدِيَه يَشْرَحْ صَدْرَه لِلْاِسْلَامِۚ وَمَنْ يُّرِدْ اَنْ يُّضِلَّه يَجْعَلْ صَدْرَه ضَيِّقًا حَرَجًا  كَاَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَاۤءِۗ كَذٰلِكَ يَجْعَلُ اللّٰهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Artinya : “Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.

Pendapat Mu’tazilah tersebut juga bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi :

‎أن النبي صلى عليه وسلم قال لأبي بكر, يا أبا بكر! لو أراد الله أن لا يعصى, ما خلق إبليس

Artinya : “Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw berkata kepada Abu Bakar “wahai Abu Bakar, bila Allah tidak menghendaki seseorang bermaksiat maka tidak diciptakan iblis”.

Lantas bagaimana dengan pemahaman ayat Al-qur’an surat an-Nisa’ ayat 79 :

‎مَآ اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ۖ وَمَآ اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ ۗ

Artinya : “Kebajikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”.

Ayat diatas secara eksplisit memang mendukung pendapat mu’tazilah diatas, bahwa perbuatan buruk bukan kehendak dari Allah. Namun secara implisit maksud ayat diatas tidak boleh kita sandarkan secara khusus perbuatan buruk kehendak dari Allah, untuk memelihara adab.

Boleh kita katakan secara umum, sebagaimana firman Allah potongan surat an-Nisa’ ayat 78 :

‎قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ

Artinya : “Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah”.

Maka menurut kita Ahli Sunnah wal Jamaah perbuatan buruk yang dilakukan oleh hamba merupakan kehendak (qadar) Allah Swt, boleh bagi kita mengatakan secara umum bahwa perbuatan buruk merupakan kehendak Allah, seperti perkataan “Semua perbuatan atas kehendak Allah”. Namun tidak sepatutnya kita katakan secara khusus, hal ini untuk memelihara adab kita kepada Allah.

Referensi : 

Syarah Ratib al-Haddad. Hal 49 – 51

‎(قلت) قوله لا يضاف الشر إلى الله عند الإنفراد مراعاة للأدب, ويضاف إليه عند الجملة, كما قال تعالى : (قل كل من عند الله). هذه صفة مستحسنة رفيعة عالية, لأن الأمور كلها بيد الله, لا بيد غيره. وقد أكثر سادتنا الصوفية الأكابر, المعتمدون فى أورادهم, لأجل العقائد.

Posting Komentar

0 Komentar