Perlu kita diketahui bahwa zakat sama bandingannya
dengan air yang membasuh kita dari kotoran-kotoran sehingga badan dan pakaian
menjadi bersih dan suci. Tidak diragukan lagi bahwa air akan menjadi najis jika
telah dipakai untuk membasuh berbagai najis. perumpamaan demikian ini
menegaskan bahwa zakat itu seperti air kotor serta tidak pantas untuk diambil
oleh Baginda Nabi dan keluarganya yang suci serta mulia. Allah SWT telah beriman
dalam Al-Qur`an,
خُذْ
مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ
عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ﴿۱۰۳﴾
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
guna dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan doakanlah
mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. at-Taubah [9]: 103).
Maksud dari ayat ini adalah ambillah zakat dari orang-orang yang
telah berkewajiban lalu kembalikanlah terhadap orang-orang yang berhak
menerimanya. Lalu bagaimana dengan keluarga nabi? sesungguhnya Keluarga nabi
tidak diberikan zakat itu sebab zakat adalah kotoran-kotoran manusia dan karena
sesungguhnya mereka mempunyai bagian tersendiri dari harta rampasan perang (ghanimah
dan fa’i), oleh sebab demikian Allah berfirman:
...قُلْ
لَّآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًا اِلَّا الْمَوَدَّةَ فِى الْقُرْبٰىۗ وَمَنْ
يَّقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهٗ فِيْهَا حُسْنًا ۗاِنَّ اللّٰهَ
غَفُوْرٌ شَكُوْرٌ
Artinya: Katakanlah: “Aku
tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang
dalam kekeluargaan”, Siapa mengerjakan kebaikan, akan Kami tambahkan kebaikan
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (QS. as-Syura
[42]: 23)
Hikmah yang lain dari tidak dihalalkannya zakat kepada Nabi adalah Karena
orang-orang musyrik berburuk sangka dan membuat perkataan-perkataan dusta
terhadap Baginda Nabi SAW, Mereka berkata bahwa nabi telah merampas dan
mengambil hak orang lain, Lantas bagaimana apabila Nabi menambahkan zakat
kepada hal itu? Tidak diragukan lagi bahwa buruk sangka akan menguat dan
dikatakan bahwa sesungguhnya Nabi diutus untuk mencari harta benda dan bukan
untuk menunjukkan makhluk.
Hikmah yang lainnya lagi yaitu bahwa sesungguhnya Nabi Saw adalah
suri teladan pertama bagi manusia dalam urusan-urusan agama dan dunianya, maka
apabila dia mengambil zakat ditakutkan umatnya akan mengikutinya sedang Mereka
tidak berhak mengambi zakat, lebih-lebih seorang rasul tidak membutuhkan
terhadap harta-harta manusia sebagaimana yang sudah kita ketahui.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana apabila kita melihat seseorang
dari keluarga nabi telanjang badan dan merasa lapar?”. Maka kita boleh
memberikan kepadanya atas landasan hadiah. Barang siapa menghidupkan zakat,
maka seolah-olah dia menghidupkan seluruh manusia dan dalam pemberian hadiahnya
itu memperlihatkan kecintaan dan kasih sayang, di mana keduanya diwajibkan
terhadap kita untuk berkasih sayang kepada
seluruh keluarga nabi (ahli bait).
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Bani Hasyim,
sesungguhnya Allah membencimu pada pembersihan manusia dan menggantikan kalian
semua dari pembersihan manusia itu dengan seperlima dari ghanimah”. Dalam
riwayat lain, nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya zakat itu diharamkan bagi Bani Hasyim”.
Dikisahkan Nabi melihat kurma di jalan kemudian berkata, “Kalau saya tidak takut
kurma ini sebagian dari zakat, niscaya saya akan memakannya”. Kemudian beliau
bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada kalian wahai Bani Hasyim
melakukan pencucian tangan-tangan manusia”.
Disebutkan dalam kitab al-Bada’i sebagai berikut: Makna yang
diisyaratkan adalah bahwa sesungguhnya zakat itu termasuk membasuh kotoran yang
ada di dalam diri manusia. Oleh sebab itu, Allah menjaga Bani Hasyim dari
demikian itu karena memuliakan mereka dan mengagungkan Rasulullah Saw. Bani
Hasyim yang diharamkan mendapat zakat adalah keluarga Abbas, keluarga Ali,
keluarga Ja’far, keluarga Uqail, dan anak Harits bin Abdul Muthallib RA.
Sumber:
Muhammad Khudhari
Bi>k, Hikmah al-Tasyri>’ wa Falsafatuh, Cet. II, (Beirut: Da>r
al-Kutb al-‘Ilmiyah, ....), h. 94.
0 Komentar