Fikih Klimatologi; Apa Hukum Puasa di Tempat yang Tidak Terbenam Matahari?

Fikih Klimatologi; Apa Hukum Puasa di Tempat yang Tidak Terbenam Matahari?


Puasa merupakan salah satu ibadah bagi umat muslim yang dilakukan dengan cara menahan diri dari lapar, haus dan aktivitas seksual, serta beberapa hal lainnya yang dapat membatalkan puasa mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari.

 

Umumnya, durasi waktu berpuasa mulai dari fajar hingga magrib adalah 13 jam. Namun, di beberapa negara dengan kondisi waktu yang berbeda penduduknya berpuasa lebih dari 18 jam karena waktu siang yang panjang. Hal itu seperti yang dialami oleh umat Muslim di Denmark dan negara-negara lain seperti Norwegia dan Islandia. Mereka berpuasa jauh lebih lama daripada mereka yang berada di belahan bumi bagian selatan.

 

Hal ini merupakan sebuah keunikan dan salah satu bentuk keagungan Allah Swt yang menciptakan siang dan malam pada tempat yang berbeda dengan waktu yang berbeda, serta durasi waktunya pun berbeda. Hebatnya lagi, bahkan ada beberapa tempat di belahan bumi yang matahari tidak terbenam sama sekali pada waktu-waktu tertentu dalam setahun. Misalnya di Svalbard, sebuah kepulauan Norwegia di Samudra Arktik, di sana matahari tetap terbit 24 jam dari bulan April hingga Agustus.

 

Fenomena tentu saja perlu tinjauan dari sisi hukum Islam secara khusus, karena mengingat sangat banyak praktik ibadah dalam Islam yang terikat dengan waktu, dan biasanya berpedoman dengan waktu langit, yaitu matahari dan bulan. Pada tulisan ini, kita hanya akan menelisik terkait hukum berpuasa saja. Bagaimana sebenarnya hukum berpuasa pada tempat-tempat yang telah diutarakan di atas tersebut?

 

Jawaban:

Pada beberapa kitab-kitab muktabar mazhab Syafi’i, seperti Tuhfatul Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj, Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli telah membuat prediksi dan solusi hukum terkait tata cara salat di daerah yang mataharinya langsung terbit ketika baru saja terbenam dan ada juga yang masa terbenamnya matahari hanya sebentar sebatas waktu antara jarak waktu ‘Isya dan Magrib saja. Hal ini juga ikut dikutip dan dikomentari oleh Imam Bujairimi yang substansinya tidak jauh berbeda.

 

Selain itu, keduanya juga mengutip komentar Imam Zarkasyi dan Ibnu Imad terkait tata cara dan konsekuensi hukum terkait puasa bagi orang-orang pada tempat-tempat yang dijelaskan di atas. Dari sini dapat dimaklumi, bahwa hukum berpuasa bagi mereka tetap wajib sama seperti orang di tempat lainnya. Namun dengan ketentuan dan tata laksana yang mungkin sedikit berbeda. Berikut kami cantumkan redaksi dari ketiga ulama tersebut.


1.     Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, jld. 1, H. 424

لَوْ عُدِمَ وَقْتُ الْعِشَاءِ كَأَنْ طَلَعَ الْفَجْرُ كلمَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَجَبَ قَضَاؤُهَا عَلَى الْأَوْجَهِ مِنْ اخْتِلَافٍ فِيهِ بَيْنَ الْمُتَأَخِّرِين وَلَوْ لَمْ تَغِبْ إلَّا بِقَدْرِ مَا بَيْنَ الْعِشَاءَيْنِ فَأَطْلَقَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ حَالُهُمْ بِأَقْرَبِ بَلَدٍ يَلِيهِمْ وَفَرَّعَ عَلَيْهِ الزَّرْكَشِيُّ وَابْنُ الْعِمَادِ أَنَّهُمْ يُقَدِّرُونَ فِي الصَّوْمِ لَيْلَهُمْ بِأَقْرَبِ بَلَدٍ إلَيْهِمْ، ثُمَّ يُمْسِكُونَ إلَى الْغُرُوبِ بِأَقْرَبِ بَلَدٍ إلَيْهِمْ وَمَا قَالَاهُ إنَّمَا يَظْهَرُ إنْ لَمْ تَسَعْ مُدَّةَ غَيْبُوبَتِهَا أَكَلَ مَا يُقِيمُ بِنْيَةَ الصَّائِمِ لِتَعَذُّرِ الْعَمَلِ بِهِ عِنْدَهُمْ فَاضْطَرَرْنَا إلَى ذَلِكَ التَّقْدِيرِ بِخِلَافِ مَا إذَا وَسِعَ ذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حِينَئِذٍ كَأَيَّامِ الدَّجَّالِ لِوُجُودِ اللَّيْلِ هُنَا وَإِنْ قَصُرَ وَلَوْ لَمْ يَسَعْ ذَلِكَ إلَّا قَدْرُ الْمَغْرِبِ أَوْ أَكَلَ الصَّائِمُ قَدَّمَ أَكْلَهُ وَقَضَى الْمَغْرِبَ فِيمَا يَظْهَرُ

2.   Imam Ramli Saghir, Nihayatul  Muhtaj, jld. 1, H. 369.

]تَنْبِيهٌ] لَوْ عُدِمَ وقْتُ العِشاءِ كَأنْ طَلَعَ الفَجْرُ كَما غَرَبَتْ الشَّمْسُ وجَبَ قَضاؤُها عَلى الأوْجَهِ مِن اخْتِلافٍ فِيهِ بَيْنَ المُتَأخِّرِينَ ولَوْ لَمْ تَغِبْ إلّا بِقَدْرِ ما بَيْنَ العِشاءَيْنِ، فَأطْلَقَ الشَّيْخُ أبُو حامِدٍ أنَّهُ يُعْتَبَرُ حالُهُمْ بِأقْرَبِ بَلَدٍ إلَيْهِمْ، وفَرَّعَ عَلَيْهِ الزَّرْكَشِيُّ وابْنُ العِمادِ أنَّهُمْ يُقَدِّرُونَ فِي الصَّوْمِ لَيْلَهُمْ بِأقْرَبِ بَلَدٍ إلَيْهِمْ ثُمَّ يُمْسِكُونَ إلى الغُرُوبِ بِأقْرَبِ بَلَدٍ إلَيْهِمْ، وما قالاهُ إنّما يَظْهَرُ إنْ لَمْ تَسَعْ مُدَّةُ غَيْبُوبَتِها أكْلَ ما يُقِيمُ بِنِيَّةِ الصّائِمِ لِتَعَذُّرِ العَمَلِ بِما عِنْدَهُمْ فاضْطُرِرْنا إلى ذَلِكَ التَّقْدِيرِ، بِخِلافِ ما إذا وسِعَ ذَلِكَ ولَيْسَ هَذا حِينَئِذٍ كَأيّامِ الدَّجّالِ لِوُجُودِ اللَّيْلِ هُنا وإنْ قَصُرَ ولَوْ لَمْ يَسَعْ ذَلِكَ إلّا قَدْرَ المَغْرِبِ، أوْ أكْلَ الصّائِمِ قَدَّمَ أكْلَهُ وقَضى المَغْرِبَ فِيما يَظْهَرُ اهـ حَجّ.

 

3.   Imam al-Bujairimi, Hasyiyah Bujairimi, jld. 1, H. 393

فَإنْ انْعَدَمَ اللَّيْلُ فِي بَعْضِ البِلادِ بِأنْ كانَ يَطْلُعُ الفَجْرُ عَقِبَ غَيْبُوبَةِ الشَّمْسِ وجَبَ قَضاءُ المَغْرِبِ أوْ العِشاءِ قالَ حَجّ: ومُقْتَضاهُ أنْ لا صَوْمَ عَلَيْهِمْ؛ لِأنَّهُ عَلى التَّقْدِيرِ، والأخْذُ بِالنِّسْبَةِ لا يَكُونُ صَلاةُ المَغْرِبِ والعِشاءِ بَعْدَ الفجر قَضاءً. اهـ. ح ل. وكَوْنُ أكْلِ الصّائِمِ واجِبًا تَحَرُّزٌ مِن الوِصالِ المُحَرَّمِ.

Post a Comment

0 Comments