Sungguh Abi Ya’la di ikuti oleh al-Allamah Kuwait pada abad 20 ini yaitu Syeikh Khalaf ad-Dahiyan al-Hanbali tentang masuknya golongan Asya’irah dalam golongan ahli hadits. Beliau berkata dalam ta’liqatnya terhadap syarah as-Safarini “golongan Asya’irah dan Maturidiyah tidak menolak hadits dan tidak pula mengabaikannya, mereka mentafwidhnya atau mentakwilnya. Mereka semua adalah ahli hadits, maka ketiganya (Asya’irah, Maturidiyah dan Ahlu Hadits) merupakan satu golongan dan karena kesepakatan mereka terhadap hadits-hadits dan mengikutinya, sebaliknya dengan golongan yang lain, mereka hanya berhukum dengan akal dan meninggalkan dalil naqal (ayat dan hadits), mereka merupakan ahli bid’ah dan sesat dan menyalahi kebenaran serta merupakan golongan yang jahil”.(Tabshir al-Qani’ hal. 75)
Ungkapan ini bukanlah hanya sebagai ungkapan manis semata dengan seseorang, namun merupakan satu kebenaran, karena kebanyakan para pensyarah hadits adalah ulama Asya’irah, maka bagaimana bisa mereka bukan ahli hadits?
Maka coba perhatikan kalam para pembesar ulama mazhab Hanbali yang kaum Najdiyah sendiri berguru kepada kitab mereka. Dan perhatikan pula kalam kaum salafi modern dalam menyesatkan Asya’irah dan mengeluarkan mereka dari Ahlussunnah.
Sungguh salah satu ulama Mazhab Hanbali zaman ini telah menerangkan pandangan Mazhab Hanbali terhadap golongan Asya’irah yaitu Syiekh al-Allamah Shalih al-Asmari, beliau berkata dalam fatawa beliau yang masyhur “sungguh para pemuka ulama Mazhab Hanbali telah menetapkan bahwa golongan Asya’irah dan Maturidiyah berada dalam golongan Ahlussunnah wal Jamaah yang telah dijanjikan keselamatannya”.
Ini merupakan manhaj Imam Ahmad dan ulama Mazhab Hanbali yaitu enggan mengkafirkan kaum muslimin dan enggan menghalalkan darah mereka serta tidak mau mengeluarkan golongan yang berbeda pendapat dengannya dalam perkara yang parsial – baik dalam masalah i’tikad maupun dalam fiqh- dari golongan Ahlussunnah. Bila mesti dilakukan (mengeluarkan satu golongan dari Ahlussunnah) maka mesti dengan rincian yang mendalam dan dalil yang qath’i.
Berkata Imam az-Zahabi “saya melihat kalimat Imam al-Asy’ari yang mengagumkan diriku yang diriwayatkan oleh imam Baihaqi, saya mendengar Aba Hazim al-‘Abdawi, saya mendengar Zahir bin Ahmad as-Sarkhasi berkata “ketika dekat ajal Abu Hasan Asya’irah di rumahku di Baghdad, beliau memanggilku, maka aku mendatangi beliau, beliau berkata “bersaksilah atasku bahwa saya tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat, karena semuanya masih menyembah kepada tuhan yang satu, dan semua ini merupakan perbedaan pada ibarat”.
Saya (Imam Zahabi) berkata “demikianlah saya beragama dan demikian juga guru saya Ibnu Taimiyah di akhir-akhir harinya, beliau berkata “saya tidak mengkafirkan seseorangpun dari umat ini, Nabi bersabda “tiada yang memelihara wudhuk kecuali ia adalah seorang mukmin, maka siapa yang masih shalat dengan wudhuk maka ia masih mukmin” (az-Zahabi, siyar a’lam nubala)
Sumber; Syeikh Musthafa Hamdu ‘Ulaiyan al-Hanbali, as-Sadah Hanabilah wa Ikhtilafihim ma’a Salafiyah Mu’asharah, hal. 212-213 cet. I, Dar Nur, Oman, thn 2014
0 Komentar